Bahkan Nabi Muhammad SAW juga memberi sinyal 6G terkait hati, "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)" (HR. Bukhari dan Muslim). Pada konteks ini saya menolak Immanuel Kant dan Jeremy Bentham tentang konsepsi rasional-etis.
Menurut Kant setiap orang harus melakukan suatu sikap etis yang bersifat universal. Sebagai contoh jika seseorang ragu apakah bersedekah kepada pengemis adalah tindakan etis atau tidak, maka seseorang itu harus mengandaikan jika dia sedekah, orang lain akan melakukan tindakan yang sama sehingga melahirkan hukum moral di masyarakat.
Kant menyebutnya sebagai suatu "ilmu kewajiban yang terikat (deontologis). Pun pemikiran etis berbeda dengan J Bentham yang mendasarkan sikap etis pada kemanfaatan mayoritas (the greatest happiness the greatest number) atau dikenal dengan utilitarianisme.
Komparasi kedua pemikiran etis-rasional Kant dan Bentham berbeda dengan konsep etis-intuitif Al-Qur'an dan Hadis. Islam mampu mengurai watak kemanusiaan pada diri manusia secara konkret. Fakta sosialnya seseorang akan bersikap etis bukan karena mengetahui tindakan etis melainkan berorientasi pada dorongan intuitif dari hati untuk mendorong tindakan etis itu.
Dorongan hati pun dalam dunia tasawuf disebut dengan "Warid". Saya memberikan definisi bebas Warid adalah 'mengalami kondisi batin, maka rasionalitas dalam Islam tidak dijadikan sumber pengetahuan utama'. Meminjam istilah dari Max Weber, rasionalitas bagi Islam bersifat instrumental.
Naifnya, filsafat barat yang bertumpu pada rasio instrumental semata membawa bencana bagi alam semesta sebagaimana isu-isu lingkungan hidup yang sekarang terjadi. Filsafat barat juga gagal dalam hal memetakan filsafat manusia, bahwa manusia memiliki aspek batin seperti intuisi atau hati. Maka sikap apatis filsafat barat demikian menurut perspektif Islam adalah "Kafara" (tertutupnya pengetahuan yang benar).