(Ihsan Abdul Haq, Mahasiswa PAI Pascasarjana Universitas Islam Jakarta)
Bagi seorang muslim, bertauhid merupakan pangkal sekaligus ujung (tujuan) dari seluruh kehidupan. Artinya, seluruh aktivitas kehidupannya selalu ada dan tetap dalam bingkai (frame) tauhid. Tauhid tidak hanya mengisi "sisi kosong" kesadarannya, tetapi selalu mengaliri seluruh ruang kesadarannya dalam waktu kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun (faainama tuwall fatsamma wajhu Allah). Gagasan tentang Tuhan dalam konsep tauhid, hendaknya meresap ke dalam setiap aspek kesadaran, pemikiran dan perilaku Muslim.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, seluruh kehidupan umat Islam harus didasarkan pada pandangan dunia tauhid. Artinya, tidak boleh ada pemisahan atau pembedaan antara kegiatan dunyawiyyah dan kegiatan ukhrawiyyah. Dalam pandangan tauhid, semua aktivitas muslim merupakan manifestasi dari ketakwaan total kepada Allah ('ibadah). Jadi, tidak boleh terjadi "teritorialisasi" (sekularisasi) antara aktivitas mental-spiritual (ukhrawi) untuk Tuhan, dan aktivitas fisik-jasmani (duniawi) selain Tuhan.
Dengan demikian, tauhid bukan sekedar konsep "melangit", tetapi juga "membumi"; bukan sekedar menyangkut Tuhan dengan zat, sifat, dan af 'al-Nya, tetapi juga beruhubungan dengan dunia manusia. Murtadha Muthahhari membagi pemahaman tauhid kepada dua bagian, yaitu tauhid teoretis dan tauhid praktis. Tauhid teoretis, menurutnya, adalah tauhid yang membahas tentang keesaan zat, sifat, dan perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan zat, sifat, dan perbuatan Tuhan ini adalah khusus berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran kita tentang Tuhan. Adapun tauhid praktis yang juga dia sebut tauhid ibadah berhubungan dengan kehidupan praktis manusia, dunia nyata, dunia sosial, dan cultural manusia.
Dalam kerangka ini, maka tauhid sangat signifikan dijadikan landasan bagi tegaknya bangunan peradaban manusia. Dengan
keluasan muatan nilai yang terkandung dalam konsep tauhid in mengandung implikasi ideologis bagi terciptanya tata peradaban das pranata sosial yang adil, maju dan berkeadilan, beradab, egaliter, demokratis, dan humanis, bukan saja untuk kepentingan antropologis & sosiologis , tetapi sebuah pranata yang terbingkai oleh etik dan moral Islam (tauhid). Etik dan moral yang akan mengarahkan proses-proses sosial yang semakin menggelem bung dalam membentuk kebudayaan dan peradaban.
Pendidikan, sebagai bagian dari proses kreatif peradaban memiliki nilai strategis untuk melakukan proses kulturisasi, yakn memasyarakatkan nilai-nilal normatif etis ketataran realitas. Dengan kata lain, pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan atau mentransformasikan nilai-nilai yang masih berada di wilayah ontologis (seperti konsep masyi'ah, iradah, qudrah) ke tataran epistemologis dan aksiologis. Agar ontologi nilai itu dapat dipahami dan diaktualisasikan pada tataran aksiologis, perlu dirumuskan pada tataran epistemologis. Dengan demikian, pendidikan harus dibangun dari kebenaran merumuskan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
Pendidikan Islam, sebagai bagian dari struktur bangunan Islam, yang memiliki kaitan fungsional dengan nilai dan moral Islam, sangat berkepentingan untuk memfungsikan dan mangaktualisasikan nilai- nilai tauhid dalam proses pendidikannya. Untuk kepentingan ini ikhtiar yang harus dilakukan pada tataran awal adalah melakukan konseptualisiasi pada tataran teologi dan filosofi pendidikan Islam. Pada tataran teologi dimaksudkan agar kehadiran dan proses pendidikan Islam memiliki landasan atau dasar teologis. Pemahaman teologis yang dimaksud tentu harus bersumber dari nilai-nilai dasar al-Quran. Hal ini diperlukan, agar kecuali pendidikan Islam tetap mempunyai keterkaitan secara organik dan sistematis dengan ajaran Islam yang membedakan dengan karakteristik pendidikan lainnya juga pemikiran teologis yang baik dan jelas berguna dalam mengarahkan jalannya pendidikan Islam itu sendiri. Sebab, refleksi teologis menjadi semacam keyakinan yang selanjutnya memberi warna terhadap kehadiran dan kerja manusia. Sedangkan pada tataran filosofis dimaksudkan agar penyusunan konsep pendidikan Islam berlandaskan pemikiran yang tersistemalisasi secara filosofis. Pada level ini, tidak hanya memuat pemikiran-pemikiran yang bercorak normatif-spekultif yang menjadikan pendidikan Islam kehilangan daya aktualisasinya, tetapi upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk merumuskan kembali konsep pendidikan Islam secara lebih bermakna dan kontekstual dengan persoalan kemanusiaan.
Filsafat adalah cara untuk mencari dan merumuskan kebenaran yang dalam kehidupan muslim selalu merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dari rumusan ini akan tersusun suatu bagan filosofis mengenai pandangan dunia yang menjadi landasan ideologis dan moral pendidikan Islam. Berangkat dari persepektif ini, pemikiran, perumusan dan penyusunan kerangka dasar pendidikan Islam harus bertitik tolak dari nilai-nilai dasar al-Quran. Selain menjamin keterkaitan dengan ajaran Islam, juga dalama rangka fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mengarahkan jalannya perubahan masyarakat dan peradaban.
 Dari perspektif ini, dapat diambil formulasi bahwa tauhid dalam pemikiran pendidikan Islam berfungsi untuk mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi "manusia tauhid" yang lebih kurang ideal, dalam arti memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada penegakan kebenaran dan keadilan. Berbagai atribut manusia tauhid yang diharapkan lahir dari "rahim" pendidikan, menurut Irfan dan Mastuki, adalah pertama, memiliki komitmen utuh, tunduk dan patuh pada Allah. la berusaha secara maksimal menjalankan pesan dan perintah Tuhan sesuai dengan kadar kemampuannya. Kedua, menolak segala pedoman dan pandangan hidup yang bukan datang dari Allah. Dalam konteks masyarakat manusia, penolakan ini berarti emansipasi dan restorasi kebebasan esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia supaya komitmennya pada Allah menjadi utuh dan kokoh.
Ketiga, bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas hidupnya, adat istiadat, tradisi, dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas maka ia tidak segan-segan berubah dan mengubahnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Manusia tauhid akan selalu bersikap progresif-inovatif karena ia tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif.
Atribut keempat, tujuan hidupnya amat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya selalu ditujukan untuk dan demi Allah semata. Inilah komitmen yang selalu diucapkan berkali-kali dalam setiap shalatnya:
"Sesungguhnya shalatku, seluruh amal ibadahku, hidupku, dan matiku, hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam"
Manusia tauhid tidak akan mudah terjerat ke dalam nilai-nilai palsu atau hal-hal yang tanpa nilai (disvalues). Atribut-atribut dunia wiyah seperti kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan hidup bukanlah tujuan hidupnya. Sebaliknya, hal-hal tersebut dipandang sebagai sarana belaka untuk mencapai keridhaan Allah Swt.
Kelima, manusia tauhid memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupannya yang harus dibangun bersama manusia manusia lainnya. Suatu kehidupan yang sentosa, aman, makmur, demokratis, egaliter, manusiawi, dan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dan sesamanya serta dirinya sendiri. Pada gilirannya, visi tersebut mendorongnya untuk mengubah dan membangun dunia dan masyarakat sekelilingnya. Kewajiban untuk membongkar masyarakat yang jumud, anarkis, dan status quo, sebaliknya membangun tata kehidupan baru yang dinamis, demokratis, adil, egaliter, dan menghargai hak asasi manusia dipandang sebagai misi utama sepanjang hidupnya.
Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan Islam dalam kerangka tauhid melahirkan dua kemestian strategis sekaligus. Pertama, menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah. Kedua, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya. Dengan kata lain, pendidikan Islam dalam tinjauan teologis dan filosofis diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi ketundukan vertikal dan dialektiaka-horizontal. Pada dimensi pertama, pendidikan Islam diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan pengertian tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia dalam mencapai hubungan (taqarrub) dengan Allah. Sedangkan dimensi kedua, pendidikan Islam hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkret, yaitu kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosialnya. Pada dimensi ini, manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia riil dengan seperangkat kemampuan yang dimiliki (pengetahuan, keterampilan, moral, dan kepribadian). Kemampuan-kemampuan semacam ini tidak lain hanya bisa diperoleh dari proses pendidikan.
Dari kemestian ini sesungguhnya bangunan pendidikan Islam dilandasi dan sekaligus hendak mengarahkan manusia pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah) pada tataran teologis, hubungan manusia dengan sesamanya (hablun min al-Nas) pada tataran antropososiologis, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun min al-'Alam) pada tataran kosmologis. Dalam istilah yang mudah dimengerti, hubungan pertama disebut "keberagamaan", hubungan kedua disebut "kebersamaan", sedangkan hubungan ketiga dinamakan "kemitraan". Uraian berikut akan mencoba menjelaskan ketiga pola hubungan tersebut.
Referensi:
Al-Attas, Syed Naquib, Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan, Bandung: Mizan, 1992)
Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung, Mizan, 1989)
A. Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah ( Yogyakarta: Sipress, 1993)
Mohammad Irfan, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000)