Tentu kepergian sang istri dan sang paman membuat Nabi Muhammadﷺ sangat bersedih. Terlebih saat paman nabi meninggal, berharap pamannya bisa mengucap kalimat syahadat, tetapi sang paman tidak mau mengucapkannya. Berharap hidayah bisa diterima oleh pamannya, namun pamannya tetap menolak.
Karena itu, Allahﷻ berfirman para surat Al-Qashas ayat 56 yang menegaskan:
“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56)
Sepeninggal Kahdijah dan Abu Thalib, kaum Quraisy semakin berani mengganggu Nabi Muhammadﷺ. Serangan verbal bahkan fisik semakin berani ditujukan kepada Nabiﷺ, sehingga akhirnya beliau pun memutuskan untuk keluar berdakwah ke Thaif, berharap masyarakat di Thaif mau menerima hidayah.
Namun, harap-harap mereka menerima dakwahnya, Nabi Muhammadﷺ justru diserang dan dilempari batu oleh orang-orang Thaif hingga luka-luka. Bahkan, karena begitu beratnya kejahatan orang-orang Thaif ini, malaikat pun diutus untuk menawarkan bantuan kepada Nabiﷺ.
“‘Sesungguhnya Allahﷻ telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allahﷻ telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”
Kemudian Nabiﷺ menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Begitu mulianya akhlak Rasulullahﷺ, bahkan dalam kondisi sedih dan teraniaya pun beliau tetap bersabar dan berprasangka baik kepada Allah serta tidak menyakiti. Meski orang-orang Thaif sekarang menolak dakwahnya karena belum tahu, Nabi Muhammadﷺ tetap berharap bahwa anak keturunan mereka kelak yang akan menerima risalah dakwahnya.
Bagi Rasulullahﷺ, kesedihan tidak dilampiaskan dengan tangis atau rasa duka-kecewa yang berlarut-larut, tidak pula dilampiaskan dengan kekerasan atau balas dendam, namun indahnya akhlak beliau rasa sedih disikapi dengan kesabaran, prasangka baik, dan rasa kasih sayang yang begitu dalam berupa doa kebaikan.
Ketika putra Nabi Muhammad, Ibrahim meninggal, Nabiﷺ pun menangis-meneteskan air mata. Kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Mengapa Engkau menangis, wahai Rasulullahﷺ?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).”
Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda, “Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan, kecuali apa yang diridai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)
Nabiﷺ memang sedih dan menangis ketika putranya, Ibrahim, meninggal. Namun, sedihnya nabi merupakan kasih sayangnya pada Ibrahim. Kesabaran dan prasangka baik kepada Allah menjadi respon yang menenangkannya karena kematian adalah sebuah kepastian yang telah ditentukan, bahkan waktunya tidak bisa dimajukan atau dimundurkan sedikitpun.
Husnudzan pada Allahﷻ
Kesedihan memang wajar menimpa manusia ketika kehilangan seseorang atau sesuatu yang ia senangi. Bahkan Nabi Muhammadﷺ begitu bersedih ketika kehilangan orang-orang tercintanya dan ditolaknya hidayah yang ia sampaikan.
Demikian pula umumnya manusia bersedih bila kehilangan sesuatu yang sangat disenangi, diidam-idamkan, bahkan sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai, kehilangan harta, kehilangan pekerjaan, dan tidak tercapainya cita-cita, menjadi kesedihan yang menguji jiwa.
Ketika ikhtiar tak menuai hasil sesuai harapan dan usaha tidak mencapai cita-cita yang diinginkan, rasa sedih, kecewa, dan putus asa bisa menghujam ke dalam jiwa seseorang, menguji keimanannya masihkah ia kuat bersandar kepada Allahﷻ?
Bayangkan jika Nabiﷺ mengiyakan tawaran malaikat pada waktu itu, tentu risalah Nabiﷺ akan terputus dan tidak ada keturunan masyarakat Thaif yang sekarang beriman. Kita pun merasakan bahwa dengan kelembutan rasa sayangnya, serta kesabaran dan prasangka baiknya pada Allahﷻ, keberhasilan dakwah Nabiﷺ terus berlanjut hingga sekarang dan seterusnya.
Dalam kondisi seperti ini, sangat perlu bagi kita untuk merespon kesedihan yang dihadapi dengan sikap seperti Nabiﷺ, yakni dengan kelembutan, akhlak mulia, kesabaran, dan prasangka baik kepada Allahﷻ. Apapun hasil dan kondisinya, lihat sebagai bentuk kasih sayang Allahﷻ.
Oleh karena itu, apapun hasil dan kondisi dari ikhtiar yang telah kita lakukan, tetap bertawakkallah kepada Allah. Itulah yang terbaik dan paling baik.
“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Kita tidak tahu bahwa di balik sesuatu yang kita ingin-inginkan itu, bisa jadi ada bahaya atau kerugian yang menanti di depan. Kita pun juga tidak tahu bahwa di balik sesuatu yang tidak kita sukai sekarang ini ada kebaikan besar yang Allahﷻ rencanakan untuk kita besok. Mengapa? Karena Allahﷻ tahu apa terbaik buat kita semua. Allahﷻ pun akan mengabulkan seusai maslahat terhadap apa yang kita butuhkan, tidak selalu pada apa yang kita inginkan yang belum tentu baik menurut Allahﷻ.
Lihat ini sebagai kasih sayang Allahﷻ, maka, keindahan, ketenangan, dan keberhasilan akan senantiasa menyertai kita. Jangan remehkan doa dan prasangka kita kepada Allahﷻ karena Allahﷻ pun sesuai dengan prasangka hamba-Nya.