Si Hitam, Avanza kami, baru bergabung dengan keluarga kecil kami akhir Oktober 2012 silam. Dia kami pilih untuk menggantikan tugas mobil kami yang pertama, yang usianya telah cukup tua. Sebagaimana mobil kami yang sebelumnya, kami sekeluarga langsung jatuh sayang pada si Hitam. Kami, terutama saya dan suami, percaya bahwa setiap benda matipun bisa 'merasakan' bahwa dia disayangi, termasuk juga si Hitam.
Sudah kami niatkan sejak awal bahwa si Hitam juga harus memberi manfaat, bukan saja buat kami sekeluarga, tapi juga bagi lingkungan kami dan kalau bisa buat umat secara umum. Jadi si Hitam juga harus siap disuruh menemani kami bertugas hingga jauh, misalnya.
Kesempatan pertama terjadi awal November 2012. Suami saya mendapat tugas mengisi sebuah acara di daerah Anyer. Kebetulan kami belum faham daerah itu dan hanya berbekal panduan alamat dari panitia via sms. Rute awal perjalanan cukup menyenangkan, karena kami yang mengajak ketiga putra kami ikut serta, masih menempuh jalur tol Jakarta-Merak yang kebetulan tidak terlalu macet.
Tapi lama-lama, ketika sudah keluar tol, kami mulai menemukan rute yang tidak biasa. Jalanan mulai tidak rata, benjol-benjol dimana-mana, beberapa ruas jalan ada antrian. Sama deh dengan rute pulang kampung tahunan kami ke Grobogan. Anak-anak mulai rewel pula. Tenaaang, saya sudah membawa amunisi yang cukup, makanan, minuman, dan snack.
Rute yang kami tempuh makin 'aneh'. Di seberang sana, panitia juga terdengar 'bingung' memberi arahan jalan. Waduh, jangan-jangan panitianya juga pada enggak tahu jalan nih, pikir saya. Sementara itu, kedua putra kami yang masih kecil-kecil mulai merasa mulas. Oh, yang bungsu, yang waktu itu masih berusia satu setengah tahun, malah sudah beberapa kali ganti diapers karena BAB. Hadeuuuh, begini deh suka duka travelling bawa bayi.
Tak lama, putra kami yang tengah, terdiam. Mukanya pucat seperti menahan mual. Kondisi medan yang buruk ditambah sakit perutnya membuatnya tidak tahan. Dia muntah! Huekkk. Sepanjang sejarah punya bocah, saya paling enggak tahan mencium bau muntah. Dalam keadaan normal saja, saya bisa ikutan muntah. Apalagi ini di perjalanan pula, kondisi medan seperti ini. Oh no. Sekuat tenaga saya mensugesti diri sendiri agar tidak ikut muntah. Ibaratnya, ngurusi anak satu yang muntah di perjalanan saja sudah repot, apalagi ditambah satu orang dewasa yang muntah karena latah kayak saya ini.
Si Hitam terpaksa menepi dulu. Kami segera mengurusi yang muntah dulu. Astaga, si Hitam yg masih unyu-unyu, wangi dan kinyis-kinyis ini, jadi bau sekarang. Tapi ya, mau bagaimana lagi?
Selesai urusan muntah, kami kembali memusatkan perhatian pada perjalanan yang tampaknya masih jauh dan seperti tak berujung ini. Suami akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menghubungi panitia yang tampaknya 'keder' juga. Jadi sekarang kami hanya bertawakkal saja. Lah wong niatnya baik kok, masak Tuhan tidak mau menolong ya? Yakin sajalah.
Sekarang kami seperti sepasang pembaca peta buta yang hanya bermodalkan GPS dan Google Maps di ponsel, yang ajaibnya juga sama kedernya dengan kami dan panitia. Kiri kanan kami banyak pohon cemara... aaaa.... Eh, kok malah nyanyi ya. Maksudnya, di kiri kanan kami sekarang banyak pepohonan. Suasana sepi sunyi senyap. Kami positif nyasar entah dimana, mungkin di antah berantah. Tambah mencekam menjelang magrib. Di sekitar tidak tampak rumah penduduk untuk sekedar kami tanyai orangnya.
Di benak saya mulai simpang siur cerita horor yang enggak jelas. Radio mobil sudah tidak bisa menemukan gelombang station radio apapun. Suami menyetel CD Maher Zain. Dan percaya atau tidak, itu CD sudah muter bolak balik sampai hafal saya sama lagunya, kami masih juga berada di 'nowhere land' itu.
Sepanjang jalan kami terus berdzikir sambil memusatkan perhatian pada jalan. Magrib sudah lama berlalu. Mungkinkah kami sudah nyasar terlalu jauh sampai ke Tanjung Lesung? Haduuuh itu sih sudah bukan nyasar lagi, tapi kebablasan jauuuh. Herannya kok ya enggak ada itu namanya papan petunjuk jalan. Boro-boro yang warna hijau, yang pakai tulisan tangan saja enggak ketemu.
Untungnya, anak-anak sudah tertidur kelelahan. Tidak ada yang ribut minta ini dan itu. Putra sulung kami sempat terbangun dan bertanya, "Dimana ini? Sudah mau sampai ya?"
"Enggak tahu, Mas. Tidur lagi aja deh", kata saya mencoba menenangkan. Padahal mah, rusuh tak terkira.
Untungnya lagi, si Hitam tidak rewel. Bahan bakar juga irit, dan memang itu salah satu keistimewaan Avanza. Ampun deh kalau misalnya si Hitam mendadak 'haus' di hutan belantara kayak gini. Dalam hati saya menyemangati si Hitam, ayooo jangan menyerah, Hitam. Kita harus bisa menemukan tempat yang dituju. Kasihan para peserta dan panitia yang sudah menunggu suami saya sejak tadi.
Adzan Isya juga sudah berlalu. Tuhan mendengar dan mengabulkan doa kami. Akhirnyaaa..
Kami kini mulai menemukan jalan kecil dengan rumah-rumah penduduk. Kami sudah kembali ke 'peradaban'. Kayak si Dora the Explorer, ingin rasanya saya joget-joget, "We did it, we did it, hooraaayyy!". Ih, alhamdulillah dong.
Pukul setengah sembilan malam kami tiba di lokasi acara. Akhirnyaaa. Alhamdulillah. Terima kasih, Hitam. Terima kasih, mr. Maher Zain (yang enggak ada capeknya nyanyi bolak-balik). Terima kasih, anak-anak yang tidur nyenyak sepanjang jalan kenangan.
Badan rasanya sudah lelah, meski tidak rontok sebab Avanza kan nyaman banget untuk perjalanan jauh. Tapi pasti si Hitam unyu ini lebih lelah lagi. Mungkin kalau dia bisa menangis, dia akan menangis semalaman. Tapi Avanza memang mobil yang tangguh. Saya jadi makin sayang sama si Hitam Avanza ini.
Setelah nyasar di Anyer itu, si Hitam makin memantapkan diri sebagai mobil andalan. Rute Jakarta-Semarang-Solo-Jogja-Nagreg-Jakarta juga pernah ditempuhnya dengan segala kemacetan Lebaran. Insyaallah dalam waktu dekat, dia akan kembali menempuh rute jarak jauh Jakarta-Semarang-Rembang-Jakarta, juga demi urusan 'umat'. Jangan pernah menyerah ya, Hitam. Barakah pengabdianmu ada di sini, bersama kami.