Yang membanggakan teater boneka Papermoon sudah melanglang keliling dunia seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang. Dan bulan ini mereka sedang keliling di sejumlah kota di Amerika Serikat dan menutup perjalanan mereka di kota New York di gedung Asian Society. Kesempatan untuk melihat lansung seperti apa kiprah para seniman muda Jogjakarta ini tak disia-siakan orang Indonesia yang tinggal di New York tanggal 1 Oktober. Rasanya selalu bangga bila mendengar kiprah anak bangsa dihargai dengan apresiasi yang tinggi oleh lembaga dan masyarakat internasional namun ironisnya di negeri sendiri masih harus mendapat kecaman dan protes oleh sejumlah kelompok-kelompok tertentu dengan isu politik. Terakhir saya dengar mereka didemo di Taman Ismail Marzuki Jakarta ketika akan pentas.
Saya adalah penikmat seni sekaligus pencinta damai. Buat saya seni itu adalah wilayah keindahan sekaligus netral. Saya tidak peduli dengan isu-isu politik apalagi ini hanya panggung boneka. Bukankah boneka adalah simbol dunia anak yang identik dengan keceriaan? Lalu apa hubungannya dengan politik? Saya belum punya jawabannya sampai saya punya kesempatan menonton pementasan teater boneka Papermoon bersama sahabat-sahabat saya.
Dan tertegunlah saya selama pertunjukan. Duduk di deretan kursi paling depan dan bisa melihat langsung bagaimana semua karakter boneka dimainkan bukan dengan cara pakem tradisional layaknya wayang. Biasanya kita melihat wayang tanpa melihat langsung dalangnya. Karena dalang selalu duduk di balik layar sebagai sutradara tunggal, yang terdengar hanya dinamika suaranya yang mewarnai beragam tokoh karakter wayang. Tapi Papermoon menawarkan warna kontemporer baru di dunia teater bagaimana mengawinkan konsep dalang yang biasanya tunggal, menjadi multi dalang yang dimainkan oleh sejumlah orang yang memegang boneka-bonekanya. Manusia dan boneka berkolaborasi di atas panggung yang sama dan sangat hemat kata. Penonton dilatih untuk membaca gerak dan simbol.
Dan tertegun saja tidak cukup. Sepanjang pertunjukan eskalasi rasa tertegun saya di awal terus meningkat sampai dada saya terhimpit sedih dan ikut merinding bergetar merasakan pesan luka batin dari para karakter boneka yang dimainkan. Dan puncak perasaan tertegun itu berakhir speechless. Saya tidak mampu berkata-kata. Saya bukan orang cengeng. Tapi hati saya menangis melihat bagaimana martabat manusia harus diperkosa oleh kesewenang-wenangan ego penguasa dan itu diturunkan menjadi kebohongan sejarah dari generasi ke generasi. Dan itu nyata ada di negeri saya sendiri. Dan sudah lama kebenaran itu ditutup-tutupi. Dan peristiwa itu bernama G 30 S PKI tahun 1965. Dan itulah pesan moral yang ingin disampaikan teater boneka Papermoon. Kita semua manusia rindu kembali ke fitrah akan nilai-nilai kebenaran hakiki yang bening tanpa ada noda. Sudah lama negeri ini kehilangan kompas moral karena tidak pernah berani menghadapi kebenaran. Kebohongan sejarah ditutupi oleh kebohongan sejarah berikutnya. Dan kebohongan memakan berton-ton nyawa tak berdosa.
Boneka anak kecil yang menangis bingung kehilangan ayahnya, kakaknya hanya karena kamu memiliki cap warisan PKI di dahi tanpa si anak mengerti PKI itu apa. Apakah betul anak kecil boneka itu adalah simbol korban kesewenang-wenangan penguasa? Lalu bagimana anak kecil lainnya yang berada di pihak penguasa dan mereka harus terpisah menjadi teman bermain karena orang tua mereka yang bertetangga dibedakan oleh ideologi? Dua anak kecil boneka ini adalah simbol bahwa pada dasarnya kita semua adalah korban dari sang 'freaking dalang genius' yang mampu mempermainkan pikiran bahwa tidaklah berdosa membunuh nyawa saudara sendiri jika ideologinya cacat. Peristiwa G 30 S PKI membuat kita diajarkan penguasa untuk saling membenci antar saudara sebangsa sendiri. Kebenaran dibiarkan samar menguap ke udara hingga aroma fitnah menjadi sah untuk menghilangkan nyawa manusia. Kita lupa bukan tugas manusia menghakimi kamu ber-Tuhan atau tidak. Tugas manusia hanya untuk saling mengasihi dan saling menjaga martabat kemanusiaan.
Pernyataan yang menarik dikemukakan Prof. John Rosa bahwa identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti kolonialisme hilang dan anti komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.
Menikmati pertunjukan teater boneka Papermoon mengobati rasa trauma masa kecil saya di jaman SD. Bagaimana kami satu sekolah digiring beramai-ramai ke bioskop karena diwajibkan menonton film Gerakan 30 S PKI besutan almarhum sutradara Arifin C. Noer. Dan itu wajib diputar di TVRI setiap tanggal 30 September di masa penguasa orde baru. Dan buat saya si kecil saat itu menimbulkan trauma sampai sekarang jika teringat menonton film yang sangat bernuansa kental demi kepentingan ego penguasa, sama halnya seperti rasa trauma jika saya menonton film Sundel Bolong dengan bintang lawas Suzanna dengan adegan makan ratusan tusuk sate.
Buat saya adalah ide brilliant dimana para seniman muda Jogja yang merupakan para local genius ini, mampu mengemas isu berat dan sensitive ke dalam media pertunjukan teater boneka yang cair sekat formal, mampu mengemas konflik moral ke dalam wilayah personal. Menyentuh wilayah keluarga, ayah, ibu, nenek, kakek, paman, bibi, tetangga, teman bermain dan diri kita sendiri.
Boneka adalah lambang dunia anak. Dunia anak adalah lambang kejujuran. Dan selalu ada diri anak di dalam setiap diri manusia dewasa. Kita merindukan dunia anak yang jujur dan simple. Karena di dunia dewasa, kejujuran sudah menjadi barang yang tidak sederhana, di negeri yang membangun sejarah di atas banyak kebohongan dan penderitaan banyak nyawa yang tak mampu bicara.
Film Gerakan 30 S PKI dimainkan oleh pemain real manusia, tetapi pesan moralnya terasa palsu. Anehnya, boneka yang dimainkan teater Papermoon adalah palsu karena bukan real manusia tetapi pesan moralnya begitu real mampu menyentuh wilayah hati manusia.
Salut pada anak bangsa Iwan Effendi dan mba Ria penggagas Papermoon, dan semua kawan-kawan Papermoon yang kiprahnya telah mengharumkan nama Indonesia. Terus berkarya untuk menyuarakan kebenaran hakiki.
Fall 2012, Manhattan, NYC.