Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Acrophobia, Penghambat Mimpi

20 Juni 2010   12:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 4046 0
Banyak orang berpendapat berada di tempat yang tinggi adalah suatu hal yang menyenangkan. Ada perasaan bebas saat itu, seperti meninggalkan beban sejenak, yaaah meninggalkan kenyataan yang (mungkin) kurang menyenangkan di dunia. Iya iya, saya tau itu, saya juga setuju dengan anggapan itu. Tak jarang saya ingin sekali berada di tempat yang sangat tinggi, untuk melupakan sejenak hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Tapi sayangnya, sistem motorik saya menolak kuat keinginan itu. Bayangkan saja, melihat sesuatu yang ada di bawah dengan jarak lebih dari satu meter saja sudah cukup membuat saya pusing. Yaa inilah kelemahan orang yang mengidap acrophobia. Acrophobia adalah perasaan takut yang ekstrem pada tempat yang tinggi. Seseorang yang memiliki phobia ini mungkin akan mengalami panik dan ketakutan yang berlebihan saat berada di ketinggian, seperti di gunung, bangunan tinggi, atau saat memanjat tangga yang panjang. 'Penderita' mungkin akan merasakan mual dan sedikit pusing, bahkan sampai menangis (mungkin ini yang stadium parah). Beberapa cara sudah saya coba untuk menghapus 'penyakit' ini. Bisa sih, menghapus sedikit rasa takut itu, tapi pada akhirnya jika hal yang saya lakukan itu tidak diulangi lagi, rasa takut itupun akan kembali 'nongkrong' dalam diri saya. Pernah saya jalan-jalan ke Kaliurang,  terus naik sampai turgo (ato apa ya? pokoknya tulisannya turgo gitu lah), untuk naik ke atas disediakan tangga yang WAW tingginya, baru melihat saja sudah membuat saya keringat dingin. Tapi keinginan dalam diri yang kuat terus mendesak untuk mencoba naik. Akhirnya saya paksakan untuk naik. Berhasil. Saat saya sudah sampai puncak, teman-teman yang lain langsung megajak turun. 'Asem aku digarapi', batin saya waktu itu. Untung ada teman saya yang setia menemani saya untuk menikmati suasana dan pemandangan sedikit lebih lama.Tak lama setelah itu, yang lain mengajak melanjutkan perjalanan. Saya jelas melihat seringai usil mereka yang tau kelemahan saya. Begitu menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, wuss, keringat dingin muncul semua, dan kaki saya tiba-tiba bergoyang. Tolong, mereka malah menertawakan saya. Setelah beberapa menit, saya sukses menginjakkan kaki di tanah Kaliurang. Pengalaman kedua, saat saya dan teman-teman mengikuti outbond. Outbond waktu itu flyng fox dan bermain air (nggak tau namanya soalnya nggak ikut). Awalnya saya berniat tidak ikut, mengikhlaskan uang sepuluh ribu rupiah melayang damai bersama ayunan flying fox. Tapi melihat asyiknya teman-teman yang lain, saya jadi tergoda. Sayapun memastikan ikut. Flying fox bukan sekedar mengayun, ternyata kami harus melewati jaring-jaring yang disusun sampai atas. Lagi-lagi kaki saya bergoyang, kali ini lebih hebat, karena jaring itu berayun maju-mundur membuat saya meggantung bingung mau bergerak bagaimana, persis seekor laba-laba yang nemplok di sarangnya. Setelah berhasil naik, tidak langsung meluncur. Masih harus melewati bambu titian (bukan Putri Titian). Dengan berpegangan pada tali yang digantung, saya meniti bambu perlahan. Mungkin sang pemandu gemas melihat saya yang bak siput, sampai beliau pun menggoyangkan bambu dimana saya berpijak. Benar-benar tega bapak itu. Berhubung hari makin panas, bambu pun semakin menyengat, saya putuskan untuk setengah berlari saat menapaki bambu. Ternyata lebih mudah. Barulah puncak acaranya, mengayun. Berteriak sekencang-kencangnya, itulah rencana saya. Pengayunan berjalan mulus. Saya pun cukup puas membuat teman-teman tuli sesaat setelah mendengar lengkingan suara saya. :D Setelah acara itu, phobia saya sedikit berkurang. Jadi saya pikir, ya sudahlah, nanti juga hilang perlahan. Tapi ternyata saya keliru. Beberapa minggu setelah itu, saat pelajaran olahraga, kami hanya disuruh jalan-jalan melewati bonbin. Saya coba-coba melongok ke bawah saat melewati kali gajah wong. Eh syok, keringat dingin muncul lagi seperti biasa, pusing mendadak tiba-tiba muncul. Ah ternyata, phobia saya kembali meraja. Untung saja, saya tidak punya cita-cita menjadi pramugari. Saat sekolah didatangi sekolah penerbangan, saya pernah bertanya iseng, "mbak, kalau punya phobia ketinggian bisa jadi pramugari nggak ya?" Teman-teman pun malah bersorak, bahkan ada yang menimpal, "ada-ada aja, bisa jadi pramugari error, bukan passenger error hahaha". Sedang mbaknya yang saya tanya dengan kalem menjawab, "Ya nanti bisa dihilangkan sedikit-sedikit, yang penting adik niat." Bola mata saya berputar, sempat terpikir mbaknya itu rabun atau bagaimana (tapi nggak mungkin ding), lalu saya menjawab, "Ada niat tapi kaki tak sampai ya mbak? Saya mini begini.." Eh mbaknya malah mesam-mesem. (Aduh, jadi ngelantur kemana-mana kan, kebiasaan deh). Nah, apa jadinya kalau misalnya saya bercita-cita itu, masa' saya harus rela mimpi saya terinjak-injak phobia sableng itu. Tapi saudara-saudara, yang jadi permasalahan saya bukan masalah pramugari itu, melainkan bagaimana terapi atau cara yang lebih handal untuk menghilangkan phobia terkutuk ini? [caption id="attachment_172524" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar : flickr.com"][/caption] [caption id="attachment_172525" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar : photo.naepflin.com"][/caption]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun