"Tak baik menghinakan diri. Meratap itu adalah mengingkari nasib." Mungkin begitu kata yang tepat untuk ditempelkan pada prinsip hidup mereka.
Tahun 2010, anak itu meluruskan niat. Dia utarakan mimpinya untuk kuliah. Diajaknya keluarga bermusyawarah. Duduk sejajar, serapat, guna saling junjung satu sama lain. Keluarga ternyata tak bisa jadi harapan.
Sampai pada satu putusan, demi mimpi kuliah, lemari satu-satunya milik keluarga harus melayang. Tak ada lagi benda berharga di rumah, selain jala ikan dan mesin katintin. Diskusi keluarga pun semakin meruncing.
"Kalau mo jual mesin, didu'u pohongi. Wanu bo lamari, debo ogandia. Lebe baye lamari upotaliya. " begitu nasehat ayahnya.
Lemari itu pun dijual seharga 750 ribu. Apakah itu bisa mengantarkan kuliah? tak ada dalam pikirannya untuk mundur, apalagi mau memenjarakan cita-citanya. Dia berangkat ke kampus, bermodalkan niat belajar.
"Kalau memang tidak bisa kuliah, setidaknya sebelum saya mati, saya sudah pernah dapa lihat itu kota dan Universitas Negeri Gorontalo. " Rutuknya.
Setelah mengikuti seleksi sebagaimana mestinya, diputuskan pembayaran uang kuliah awal 5,7 juta. Mana punya dia uang sebanyak itu. Kalau sebutan ratusan ribu, barulah dia punya. Wajah anak itu itu kembali murung, meredup.
Kabar itu datang juga. Dia mendapatkan informasi, dia lolos beasiswa S1 Putra Bidik Misi angkatan pertama ( 2010) . Wajah anak itu spontan berkilat cahaya lagi. Hatinya berdebar mendendangkan syukur. Ia kabari ibu bapak, keluarga.
Pulang kampung, anak ini menjadi buah bibir. Tak disangka, anak yang lahir dari rahim nelayan kini bisa kuliah. Dan hari ini, pada Selasa, 16 juni 2015, anak itu meraih gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.Â