Setelah clingak-clinguk, jalan kesana-kemari, tanya sana-sini saya temukan kerangkeng harimau itu. Dia ndeprok, lesu. Nafasnya ngos-ngosan.
Halo, sapa saya. Gimana saya harus nyapa? Mac ato Can ato lengkap Macan?
Terserah mas, apa saja. Toh ndak mengubah keadaan saya? begitu si macan menjawab sekaligus bertanya.
Baik Can, sebelum tanya lebih lanjut, apa kabarnya? tanya saya sambil mendekati kerangkeng.
Yah beninilah mas, haus, kaki pincang dan buntutku agak panas, terbagar disambar debu panas. Begitu ceritanya agak panjang. Air liurnya menetes satu-satu.
Ceritanya gimana sih koq bisa tertangkap?
Waktu itu saya lagi cari biniku.
Lho, punya bini toh?
Ya iyalah mas. Masak cuma manusia yang punya bini?
Lalu? Teruskan Can. Begitu kataku semakin tertarik.
Waktu semburan pertama, malam-malam itu mas, kami berdua berlindung dalam lobang. Panas juga, tapi cukup untuk berlindung.
Lalu? Tanyaku
Waktu si wedhus kedua nyembur, aku terlempar mas. Liat buntutku ini terbakar. Biniku entah dimana. Sampai sekarang.
Si macan meneteskan air matanya. Saya memaklumi perasaan dan penderitaannya. Kemudian, sambil ngos-ngosan si macan bercerita bahwa si bininya itu sedang hamil beberapa minggu. Katanya dia selalu berdoa semoga mereka berdua selamat dan akan ketemu lagi.
Can, kenapa tidak turun sebelum gunung meletus? kan kalian-kalian tau pertanda alam? Tanya saya setelah si macan terdiam beberapa saat.
Sambil membuka matanya dan lirik sana-sini, si macam bercerita.
Sebenarnya mas, kami para hewan sangat tau kapan si merapi akan meletus.
Oh ya? Saya tertegun
Bahkan mas, kami para hewan telah mengadakan rapat.
Rapat? wah.. wah... saya tertegun
Ya mas, kami ular, burung, elang, tikus, kami sendiri bahkan beberapa kali rapatnya. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak turun mas. Demi kebaikan dan keselamatan kami mas.
Keselamatan? Bukankah tidak mungkin melawan si wedhu gembel yang panas itu can?
Yah, kami tau. Tapi kami akan lebih terhormat jika kami mati karena si wedhus.
Koq gitu? Saya terheran
Turun gunung itu sebenarnmya telah sering dilakukan oleh warga merapi mas. Burung elang misalnya, 2 hari sebelum letusan turun gunung. Tapi nasib naas menimpanya. Perjalanan turun gunungnya berakhir dalam kerangkeng di pasar burung Ngasem. Kabarnya akan dijual.
Si burung kuning yang nyanyiannya merdu buanget, mati kena batu. Diketapel.
Nak sanak saya yang lagi iseng-iseng turun gunung, ndak tau rimbanya. Ada cerita burung, dia kena perangkap warga kampung.
Saya semakin tertegun. Warga tidak mau turun gunung, karena hewan penghuni belum turun. Biasanya menjelang letusan hewan tersebut akan memberi pertanda dengan turunnya mereka ke kaki bukit.
Lalu can, gimana seterusnya? Tanya saya semaikin ingin tau.
Begitulah mas, kami memutuskan untu tidak turun. Kami serba salah mas. Kami turun, maka kami akan dijerat, diketapel, dikurung bahkan dibunuh.
Ah itu kan, cuma prasangka. Kata saya singkat.
Prasangka? Lihat saya ini mas, dimana saya? Hayo dimana?Kurang ajar kau!!!! Simacan menjadi berang
Maaf Can, teruskan ceritanya.
Begitulah mas, turun mati konyol. Bertahan lebih terhormat.
Walau warga kampung jadi tidak tau si Merapi akan meletus? Tanya saya
Yah, salah sendiri. Apa kami pernah mengganggu mereka? Apakah harimau Merapi pernah makan warga? Apakah si elang pernah mematuk warga? Apakah kicauan burung kuning memekakkan telinga? TIDAK, KAN?
Kayaknya tidak.
Ya memang tidak. Lami tidak mengganggu mereka, tetapi kenapa kami selalu diburu? Dibunuh? Dijual?
Saya tidak dapat menjawabnya, karena saya bukan warga gunung merapi. Anda?