Entah apa yang terjadi, tiba-tiba kantor kelurahan sudah disulap sedemikian mewah. Gemerlap lampu hias memenuhi seluruh ruangan. Dekorasi menawan mengundang decak kagum dari seluruh yang hadir.
“Eh, ada apa, ya, kok acaranya tampak mewah kayak gini?”, bisik istri Kaur Kesra kepada istri Kaur Pemerintahan.
“Entahlah, saya juga tidak tahu. Mungkin Pak Lurah ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda di akhir masa jabatannya!”
“Oh, gitu!”
Memang, selama menjabat sebagai Lurah, Pak Bingo selalu menekankan agar seluruh warga kelurahan membudayakan hidup sederhana. Dia tidak bosan-bosannya menyampaikan imbauan itu dalam setiap kegiatan yang memberinya waktu untuk berbicara.
“Ah, Pak Lurah ini, selalu begitu deh. Padahal, dia sendiri….?”, nada sinis seperti itu sering muncul dari mulut warga kelurahan.
Bukan tanpa sebab bila sinisme terhadap Pak Lurah muncul di tengah warga kelurahan. Meski Pak Lurah getol mengimbau warga kelurahan untuk hidup sederhana, ia sendiri tidak mempraktikkannya. Diundang kenduri saja, ia selalu membawa ajudan dan pengiring. Protokoler, begitu selalu alasannya.Pun ketika ia menikahkan anaknya, pesta tujuh hari tujuh malam digelar. Layar tancep dan orkes dangdut seakan memaksa warga sekitar untuk belajar tirakat karena tidak bisa memejamkan mata sedetikpun.
Begitupun dalam keseharian, Pak Lurah selalu memakai baju necis dan perlente. Dan satu kesukaannya, ia gemar memakai baju dari bahan sutra. Padahal, sebagai orang yang mengaku muslim, sepertinya itu kurang pas. Sudah berulangkali ustadz yang tinggal tidak jauh darinya mencoba mengingatkan, nyatanya ia tidak menggubrisnya. Ia selalu berdalih, bahan sutra membantunya untuk selalu merasa segar dalam melakukan aktivitas yang padat.
Nah, soal dalih ini, lagi-lagi juga mengundang sinisme dari warga. Betapa tidak, Pak Lurah jarang sekali kelihatan dalam kegiatan seperi kerja bakti atau sejenisnya. Ketika warga mendatangi kelurahan untuk mengurus surat apa gitu, jarang sekali bisa langsung mendapatkan yang dinginkan. Keseringan mereka harus kembali keesokan harinya karena katanya Pak Lurah sedang dinas luar kota.
Kira-kira pukul 09.00 WIB, acara akan segera dimulai. Ruangan aula kantor kelurahan sudah penuh terisi tamu undangan. Sesaat setelah seorang staf kelurahan yang bertindak sebagai MC membuka acara, giliran Pak Lurah maju.
“Saudara-saudara yang berbahagia, terimakasih telah memenuhi undangan saya ini. Sengaja saya tidak menyebutkan secara pasti apa yang menjadi tujuan saya mengundang saudara-saudara semua. Itu karena saya ingin memancing kepenasaran saudara-saudara untuk mau menghadiri acara ini!”
“Halah……ngomong apa to ini orang?”, bisik seorang tamu kepada tamu yang duduk di sampingnya.
“Biasa, dia itu sok mau melucu, tapi nggak lucu!”, jawab tamu yang di sebelahnya.
“Saudara-saudara, seperti kita tahu, sebentar lagi saya akan lengser keprabon. Nah, sebelum itu sampai pada saatnya, saya ingin bercerita suka duka saya selama saya menjabat. Saya berharap, apa yang akan saya sampaikan berguna bagi pejabat lurah selanjutnya!”
Hadirin saling berbisik. Suasana agak ramai.
“Perlu saya sampaikan, bahwa masalah terbesar yang saya hadapi selama menjabat adalah bagaimana saya harus menghadapi musuh-musuh saya. Saya maklum bahwa ada saja yang memusuhi saya dengan berbagai alasan. Yang jelas, ada dulu yang ingin sekali menjadi lurah tetapi kalah saingan sama saya dan terus memusuhi saya. Ya, saya terima. Saya malah mendoakan agar dia diberikan jalan terang dan kebahagiaan.
Ada lagi dulu yang ingin sekali agar anaknya bisa bekerja di kantor kelurahan, tetapi tidak saya bantu sehingga gagal, terus menjadikan saya sebagai musuhnya. Begitupula yang ingin membuka warung di depan kantor kelurahan ini, tetapi saya larang, juga terus memusuhi saya. Semua saya terima, dan saya hanya bisa mendoakan mereka”
“Ih, kurang ajar ini orang. Mosok sampai cerita soal itu segala?”, bisik istri seorang staf tata usaha kelurahan.
“Memangnya Jeng tahu siapa orangnya?”, tanya istri Kaur Keamanan yang duduk di sebelahnya.
“Iya, waktu itu saya yang akan jualan. Eh, gak boleh sama dia. Katanya mengganggu pemandangan, nanti jadi kotor!”, jelas istri staf TU itu sambil mendengus.
“Ohh….!”
“Nah, saudara-saudara, semoga cerita saya tadi menyadarkan saudara-saudara bahwa menjadi pemimpin itu berat. Banyak yang harus dihadapi. Jadi, bila memang tidak siap, ada baiknya berpikir kembali sebelum meutuskan menjadi pemimpin…”
“Pak, maaf……!”, tiba-tiba Pak Kamso, sang Kaur Keamanan berdiri dan memotong pembicaraan Pak Lurah.
“Sepertinya Bapak punya begitu banyak musuh, ya Pak? Hati-hati, lho, Pak! Jangan-jangan, itu hanya halusinasi Bapak saja. Biasanya, orang yang tidak ‘beres’ itu sering merasa punya banyak musuh atau bahkan menganggap semua orang di sekelilingnya sebagai musuhnya. Bapak kayaknya perlu ke psikiater, deh!”, cerocos Pak Kamso tanpa dapat dibendung.
Pak Lurah terhenyak. Ia tidak bisa meneruskan pidatonya. Hadirin saling berbisik. Suasana agak kacau.
“Kita pergi saja!”, kata seorang tamu kepada tamu lainnya.
Dan tanpa dapat dibendung, satu persatu tamu meninggalkan aula kantor kelurahan itu. Tinggal Pak Lurah berdiri sendiri di panggung. Matanya nanar. Wajahnya mengeras.
“Gludak………..!”, tiba-tiba tubuh Pak Lurah terjengkang. Mengejang. Kaku.