Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Omelan Terindah

2 Juni 2014   20:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48 10 0
Sosok itu baru saja melepas sepatu hitam yang seharian ini ia pakai. Berjalan perlahan-lahan menuju dapur. Lampu rumah yang masih terang membuatnya sedikit menggerutu. Kapan ia bisa menghemat biaya listrik jika sudah tengah malam begini lampu-lampu belum dipadamkan. Diambilnya teko kaca yang tergeletak di meja makan. Menuangkan air putih itu kedalam gelas kaca dan serta merta meneguk pelan membasahi tenggorokannya.

Ia berjalan menuju kamar dan melihat kedua orang yang ia cintai sedan tidur lelap. Wanita anggun disampingnya tampak mengerutkan kening seperti biasa. Sosok mungil disebelahnya tidur dengan pulas. Hilang sudah beban yang bertumpuk-tumpuk dikantornya hari ini. hiruk pikuk kertas-kertas laporan itu seketika lenyap dari pikirannya. Dia hanya ingat dua bidadari ini saja.

“Maaf ya, papa pulang terlambat” ujarnya pelan sambil mengecup pipi bayi mungilnya yang tidak terusik sama sekali.

Wanita yang sejak tadi gelisah dalam tidurnya itu terbangun. Mengerjap pelan dan memandang sayu melihat suaminya pulang.

“Baru ingat pulang” ujaran pedas itu seketika membuat jantungnya berhenti. Padahal sejak tadi ia mengharapkan kata-kata manis yang keluar dari bibir istrinya atau kecupan selamat datang atau tawaran untuk mandi air hangat mengingat ini sudah jam dua belas lewat. Ternyata jauh panggang daripada api.

Ia hanya bisa mendesah sambil membuka baju kantor yang juga seharian ini dipakai. Baunya saja sudah tidak karuan. Dia kembali lagi kedapur untuk memasak air. Sambil menghisap sebatang rokok. Dihisapnya kuat-kuat sambil memijit keningnya

“Masih ingat pulang, kenapa tidak tidur saja dikantor” mulut itu memang berujar pedih tapi tangan cantiknya sibuk mengeluarkan makanan dalam lemaari es dan mulai memanaskannya kembali. Dilihatnya air yang ia rebus tadi mulai mendidih maksud hati mau mengambil malah didahulukan sama si cantik dihadapannya. Wanita itu menuju ke kamar mandi meletakkan panci panas berisi air mendidih itu kelantai dan mulai mengisi baskom besar dengan air bak mandi. Maklum saja mereka bukanlah keluarga kalangan atas yang jika ingin mandi air panas tinggal putar kekiri atau mau air dingin putar kekanan.

Setelah mengukur suhu air yang cukup untuk mandi ia keluar dari kamar mandi bernuansa oranye tersebut.

“Mandilah” ujarnya dan mulai sibuk lagi dengan makanan yang hendak ia panaskan.

Tanpa banyak kata pria yang sudah lima tahun menjabat sebagai kepala keluarga itu menuju ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya.

***

Harum masakan itu membuat ia tak sabar cepat-cepat memakai kaos tidur dan kain sarung kotak-kotak kesayangannya. Menghampiri sang istri yang sudah siap di meja makan. Makan malam mungkin lebih tepatnya makan dini hari.

“Makanlah, ini baru mama masak sore tadi, tapi papa lama sekali pulangnya jadi sayur bayamnya mama buang”

“Kok dibuang ma, kan sayang”

“Mama kan tidak suka sayur pa, tadi cuma Chan yang makan mama suapkan”

Segera saja dilahapnya masakan sang istri yang benar-benar menggoyang lidah, Ikan Nila goreng, ditambah sambal terasi. Nasi hangat yang mengepulkan asap. Nikmat sekali.

“Chan memang anak papa, dia suka sayuran” pria itu tertawa merasa bangga karena putrid semata wayangnya seperti ia.

Istrinya hanya merengut dan dan mencomot sedikit daging ikan nla kemudian mencocolnya sedikit dengan sambal terasi.

“Mama tidak makan?”

“Mama sudah kenyang, nanti kalau mama makan malam perut mama buncit ”

“Biarpun buncit tetap cantik kok, mama itu sudah langsing malah menjurus kekurus, makanlah ma, sama papa nih” ia membujuk istri tersayang yang memang susah kalau disuruh makan.

Sang istri tak bergeming tapi ia memperhatikan lamat-lamat suaminya yang makan dengan lahap. Maka mau tidak mau bangkit selera makannya.

“Nah begitu kan enak, papa jadi tidak makan sendiri”

“Iya, Pa”

***

2.00 am

Sepasang suami istri itu masuk kekamar setelah menyelesaikan makan dni hari mereka. naik keatas ranjang hati-hati agar tidak mengganggu bayi kecil mereka.

“Mama masih marah?”

Hening, tidak ada jawaban.

Makin memuncaklah rasa bersalahnya. Istri yang sejak tadi mendiaminya. Meski wanita itu masih melayani sebagaiman mestinya tetap saja masih ada yang mengganjal. Ia tahu istrinya marah karena selalu pulang larut malam seminggu ini. sampai makan siang dirumah pun tak sempat. Bahkan istrinya kemarin rela mengirimkan foto masakannya yang selalu menggugah selera itu ke ponselnya. Memang dia pulang sebentar untuk makan setelah itu pergi lagi tak sampai duapuluh menit ia pulang kerumah. Kalau dipikir-pikir wajar juga istrinya marah. Tapi bagaimanalah pekerjaan dikantor menumpuk harus deadline akhir bulan ini dan itu benar-benar menguras tenaga. Ia bukan tipe orang yang suka sembarangan menyelesaikan tanggung jawabnya. Maka segala sesuatunya harus berjalan sebagaimana mestinya.

“Ma” panggilnya lagi.

Kali ini hanya respon helaan nafas kuat dari wanita itu.

“Mama marah karena kasihan sama papa, pergi pagi-pagi sekali pulang larut malam ini sudah seminggu pa, Chan seharian ini menanyakan papa terus badannya sempat panas tadi siang”

jlek !

Ah, sudahlah akui saja bahwa kali ini kau benar-benar bersalah. Bahkan buah hatimupun sampai sakit tak melihatmu barang sebentar. Tapi…

“Boleh-boleh saja professional dalam bekerja tapi keluarga jangan diabaikan pa, terutama kesehatan papa, pikirkanlah”

jlek lagi !

salah…salah..salah… ia merutuki sikapnya belakangan ini. Benar ia terlalu konsentrasi pada pekerjaan dan sudah mengabaikan keluarga. Tentu saja ia paham mengapa badan Chan bisa panas anaknya yang berumur empat tahun itu tidak pernah sekalipun berjauhan darinya. Seminggu ini sudah banyak menyita waktunya karena deadline yang menggila itu.

“Iya ma, papa minta maaf” ujarnya lirih sambil mengecup pipi putih istrinya itu lalu naik kekening. Beralih mencium putrinya yang masih asyik berada dialam bawah sadar. Bahkan gadis kecil itu tersenyum samar.

“Maafkan papa Chan” ucapnya lagi sambil memeluk Chan

Wanita itu membuka mata dan tanpa sadar meneteskan air mata. Menangisi dosanya hari ini dan yang lalu-lalu. Bagaimana bisa ia marah pada suami yang sudah banting tulang mencari nafkah. Sampai lupa pada keluarga. Yang selalu setia merawatnya saat ia sakit saat hamil dulu, yang selalu memandikannya saat dia habis melahirkan dulu. Bagaimana bisa ia marah. Astaghfirullah. Berulang kali ia beristighfar. Tak sepantasnya ia marah. Tetapi kemarahannya bukan karena semata-mata kesal. Lebih tepat ia kasihan pada suaminya itu.

‘Aku bersalah pada suamiku Ya Allah’ gumamnya dalam hati.

“Nah besok hari libur, kita jalan-jalan ya ma, Chan pasti suka” suaminya berujar riang sambil siap-siap menarik selimut untuk tidur.

“Tidurlah ma, besok kita bersenang-senang”

Akhirnya tertidur dan jiwa mereka masing-masing menggumamkan kebaikan untuk esok hari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun