Akhir-akhir ini, filsafat telah menjadi pemandu setia dalam perjalanan saya, menuntun langkah-langkah saya melalui lorong-lorong pemikiran yang kadang gelap dan menyesatkan, kadang terang benderang. Di antara semua aliran yang telah saya dalami, nihilisme adalah yang paling menantang, mengguncang, dan pada akhirnya, transformatif. Nihilisme bukan sekadar konsep akademis yang diperdebatkan di ruang-ruang kelas atau seminar, tetapi sebuah cermin yang memaksa kita untuk menatap kedalaman eksistensi kita dengan tanpa kompromi. Dalam tulisan ini, saya akan mengeksplorasi bagaimana nihilisme, melalui ajaran para filsuf seperti Friedrich Nietzsche, Arthur Schopenhauer, dan Albert Camus, telah mengubah pandangan saya tentang dunia dan diri saya sendiri.
Friedrich Nietzsche, sosok yang sangat berpengaruh dalam pemahaman saya tentang nihilisme, menggambarkan fenomena ini sebagai konsekuensi dari "kematian Tuhan". Istilah ini bukanlah pernyataan literal tentang ketidakhadiran entitas ilahi, tetapi lebih merupakan metafora bagi runtuhnya nilai-nilai tradisional yang selama ini mendasari moralitas Barat. Dalam karyanya
The Will to Power, Nietzsche menulis bahwa nihilisme adalah kesadaran bahwa semua nilai-nilai yang kita anut tidak lagi memiliki makna, bahwa segala sesuatu yang ada mulai runtuh. Pertama kali saya merenungkan pandangan ini, saya merasakan semacam kehampaan yang dalam, seakan fondasi eksistensi saya goyah.Â
KEMBALI KE ARTIKEL