Patriarki telah memainkan peran sentral dalam menentukan peran dan posisi perempuan dalam masyarakat. Sejak zaman prasejarah hingga saat ini, sistem ini telah mengakar dalam budaya, ekonomi, politik, dan agama, menciptakan struktur yang menguntungkan laki-laki sementara merugikan perempuan. Sebagai contoh, praktik-praktik seperti kawin paksa, mutilasi genital perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi sebagai produk dari budaya patriarki yang masih dominan di banyak bagian dunia.
Namun, di tengah hegemoni patriarki, gerakan feminis telah muncul sebagai suara perlawanan dan harapan bagi kesetaraan gender. Gerakan ini memperjuangkan gagasan bahwa perempuan bukanlah objek yang lemah dan tunduk, melainkan individu yang setara dalam hak dan kewajiban dengan laki-laki. Sebagaimana dinyatakan oleh Gloria Steinem, "Feminisme tidak hanya tentang perempuan yang hidup lebih baik; itu tentang dunia yang hidup lebih baik untuk semua orang."
Feminis menentang norma-norma patriarkal yang membatasi peran dan potensi perempuan. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Gerakan feminis telah menghasilkan dampak yang signifikan dalam masyarakat, baik melalui pengesahan undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan maupun peningkatan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 di Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah langkah penting dalam mengakui hak-hak perempuan secara internasional. Selain itu, perjuangan feminis telah memaksa banyak negara untuk mengesahkan undang-undang yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 di Indonesia.
Tidak hanya dalam ranah hukum, gerakan feminis juga telah mempengaruhi politik dengan menuntut representasi perempuan yang lebih besar dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan. Dengan adanya kuota 30% perempuan dalam pemilihan legislatif, perempuan di Indonesia kini memiliki suara yang lebih kuat dalam menentukan kebijakan publik.
Selain itu, pendidikan masyarakat tentang isu-isu gender juga telah meningkat berkat upaya gerakan feminis. Organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi terlibat dalam advokasi, pendidikan, dan penelitian untuk mempromosikan kesadaran akan ketidaksetaraan gender dan menekankan pentingnya kesetaraan dalam masyarakat.
Meskipun tantangan dan hambatan masih ada, perjuangan feminis terus berlanjut, didorong oleh tekad untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi semua individu, tanpa memandang gender. Dalam kata-kata Angela Davis, "Perjuangan untuk kesetaraan gender tidak bisa dipisahkan dari perjuangan untuk kesetaraan ras dan kelas sosial."