Tanpa meminta persetujuanku, mereka telah menerima lamaran untukku. Sungguh aku ingin marah, mengumpat dan berteriak sekencang-kencangnya. Namun semua hanya sampai di kerongkongan, bertumpuk jadi satu yang malah mengakibatkan aku tidak mampu berkata apa-apa.
"Sudahlah Nduk, pokoknya kamu manut saja sama Paklik. Paklik jamin pilihan Paklik tidak akan salah. Dia adalah yang terbaik diantara yang terbaik." Huh, tidak Paklik, tidak kakak-kakakku, mereka keroyokan menjejeli otakku dengan 1001 alasan untuk menerima lamaran ini. Yang sebab Ibu sudah meninggal lah, Bapak sakit lah, harus ada laki-laki yang membantuku untuk merawat Bapak lah, umurku 25 tahun lah, sebab aku sudah PNS lah, sebab calonku ini bibit, bobot, bebetnya sangat baguslah...... Wathever, aku anggap semua alasan mereka cukup masuk akal. Tapi untuk yang terakhir, tentang si calon yang dibicarakan, benar-benar membuatku eneg, membuat perutku serasa di aduk-aduk dan ingin muntah saja.
*********
Aku tumbuh dan dibesarkan dari lingkungan dengan tradisi agama yang kuat. Bapakku, pernah menjabat sebagai ketua sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di tingkat kecamatan, sedang ibuku adalah perempuan tergesit yang pernah kutemui, tentu saja aktifitasnya tidak jauh dari kegiatan pengajian, Berjanjen, yasinan, dari satu desa ke desa yang lain, dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain.
Sejak kecil, telingaku sudah akrab dengan lantunan ayat suci al Qur'an dan Sholawat Nabi. Usai 6 tahun aku sudah lancar al Quran, bahkan beberapa surat pendek hapal di luar kepala. Usia 7 tahun aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setara SD dengan pelajaran umum-agama / 50-50) yang kebetulan pendiri yayasannya adalah Bapakku. Lulus MI, aku langsung di 'buang' di salah satu pesantren terkenal di Jombang.
Seperti umumnya pesantren salaf (pesantren kuno), selama 6 tahun, sehari-hari aku belajar memperdalam ilmu agama. Kebetulan, pesantren yang aku tempati lebih konsentrasi pada pemahaman kitab kuning daripada hapalan Qur'an. Jadi, meski aku khatam Qur,an tak terhitung jumlahnya, tapi aku tidak menghapalnya. Cuma, kalau kitab kuning, itu adalah makanan sehari-hariku. Mulai dari kitab yang cukup 'mudah', Ta'lim Muta'allim, Bidayatul Hidayah, Mabadiul Fikhiyyah, 'Usfuriyyah, sampai kitab yang lumayan 'berat', Al Adkar, Riyadhus Sholihin dan Sohih Bukhori dll.
Demikian pula, sebagai santri, aku harus patuh dengan segala tata aturan pesantren, mulai shalat lima waktu harus berjamaah di masjid, shalat tengah malam, larangan keluar pondok dan mengikuti kegiatan apapun kecuali sekolah, tidak boleh memakai celana (harus pakai rok), tidak boleh membawa majalah dan segala hal yang berhubungan dengan elektronik, alas tidur harus tikar, tidak boleh memasak alias harus ikut makan di pondok dengan lauk (selalu) tempe dan kuah tanpa isi. Hemmm, Aku masih ingat, jangankan ayam atau ikan, dapat lauk ikan asin atau telur 1 bulan sekali saja rasanya, yummy, nikmat habis pokoknya.
Hingga, setelah lulus Aliyah (setara SMA) orangtua memutuskan agar aku melanjutkan kuliah di IKIP Surabaya, berharap setelah lulus, menjadi guru, pulang kampung, mbangkoni rumah dan merawat orang tua seperti yang selalu mereka cita-citakan.
Dan begitu aku menginjakkan kaki di kampus, bagai anak panah yang lepas dari busurnya, Aku benar-benar merasakan kebebasan yang luar biasa, yang tidak pernah aku temui sebelumnya.
Kebebasan yang aku maksud adalah kebebasan berpikir. Kebebasan untuk menyelami segala ranah yang sebelumnya aku tidak tahu bahwa itu ada. Dan kupergunakan kebebasan itu sebaik-baiknya. Ku buru semua haus motorikku dengan mengikuti semua kegiatan, organisasi dan berbagai macam kegiatan yang menurutku menarik.
Ku turuti semua haus ambisiku dengan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, Ketua BEM Fakultas, Sekretaris sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, dan deretan jabatan yang menurutku bisa menjawab semua ingin tahuku.
Ku luapkan semua haus penasaranku dengan selalu bertanya dan berdiskusi, berdialektika, bertesis dan anti tesis, di warung kopi, di kantor sekretariat, hingga pagi menjelang petang, petang menjelang malam. Untunglah Ibu tidak menyuruhku ikut kakak, dan memperbolehkan kos, sehingga jam berapapun aku pulang, tidak ada yang protes.
Tentu saja, di depan keluarga aku masih tetap anak yang patuh dan manis, mereka tidak tahu sepak terjangku di kampus, terutama dengan keikut sertaanku pada sebuah organisasi yang sangat mengunggulkan konsep free market idea, pasar bebas berpikir, dimana anggotanya sangat menuhankan rasionalitas. Akibatnya, 'kami' cenderung berpikir ala barat, ala sekularisme.
Dan ketika aku lulus kuliah, Ibu meninggal dunia, 'dipaksa' pulang dan harus kerja menjadi guru, maka datanglah bencana itu!!!
Laki-laki dalam foto yang dibawa Paklik, sangat culun, dan....kampungan. Parahnya lagi, dia tidak pernah sekolah, hanya jebolan pesantren. Ah, aku yakin, pasti perilaku orang ini patriarkhi, anti emansipasi dan sangat membosankan. Tidak paham filsafat, politik, kapitalisme, sosialisme, gagap teknologi, dan tentu saja tidak bisa diajak diskusi. Paling bisanya cuma mengaji. Duh, mana mungkin aku menghabiskan separuh hidupku dengan laki-laki skeptis macam ini???
"Kamu jangan hanya melihat dari fisiknya Ul. Tapi pandang latar belakang keluarganya. Dia itu Gus, putra salah satu Kyai besar di kota ini. Yusuf itu anaknya sopan, pintar dan andap ashor. sangat cocok dengan keluarga kita, apalagi kamu juga lulusan pesantren dan sudah S1." Paklikku, mak comblang dari perjodohan ini, trus bersemangat mengkomporiku. Hahaha, ingin aku tertawa keras dengan persepsi orang di sekitarku yang masih memandangku dengan kecamata kuda. Tapi sekali lagi, tenggorokanku serasa tersedak, hanya diam yang ada.
"Iya Ul. Apalagi yang kamu tunggu? Lagian, sejak dulu sebenarnya kamu kan sudah kami beri kesempatan untuk mencari calonmu sendiri, tapi mana? Yang ada malah kamu tidak laku-laku dan selamanya jadi perawan tua. Mau kamu seperti itu!!!" Mas Faisal kakakku, semakin menekanku. Terus terang, saat kuliah, teman laki-lakiku sangat banyak, tapi untuk menjalin hubungan spesial, aku memang belum pernah. Dan sungguh, aku paling tidak tahan kalau setiap hari, tidak pagi, siang, malam, tidak di rumah, di sekolah, di jalan, aku harus mendengar sindiran-sindiran pedas yang selalu diakhiri dengan pertanyaan yang sama, 'Kapan menikah'! (Hufftt, mungkin akan beda ceritanya jika aku hidup di kota besar!!!)
**********
Dan akupun pasrah. Penentuan hari, ijab Kabul pernikahan, hingga resepsi kecil-kecilan, tak terasa sudah aku lewati. Entahlah ada dimana pikiranku saat itu. Yang jelas, ketika hari ini, hari dimana aku resmi menjadi istri Yusuf, maksudku si Culun, tiba-tiba perasaan muak itu kembali menyeruak. Aku sangat menyesal telah mengambil keputusan yang sangat bodoh.
Untung saja, hingga 1 minggu pasca resepsi, 2 dari 3 kakak dan keponakanku yang lucu-lucu, masih tinggal di rumah. Sehingga aku punya alasan untuk tidak perlu menginjakkan kaki di kamar yang menurutku settingnya sangat lebay itu.
"Eh masak manten anyar kok tidur sama keponakan. Sana masuk kamar. Nggak usah malu-malu."
"Uul itu bukannya malu Mbak, tapi masih belum tahu caranya, hahaha," setiap saat kakak-kakakku selalu menggodaku, tapi aku cuek bebek, tak menggubris. Pun, aku tidak pernah peduli dengan keberadaan dan apa yang si Culun lakukan di rumahku, aku terus berusaha mengulur waktu untuk menghindar dan bertemu dia.
Ku buka kalender. Baru tanggal 16. berarti cutiku masih 5 hari lagi. Sungguh membosankan, harus libur mengajar 2 minggu hanya untuk sebuah pernikahan yang tidak aku harapkan! Dan pagi itu, dengan semangat 45, aku ke pasar membelikan titipan kakak-kakakku yang daftarnya lumayan panjang. Wah mumpung di rumah lagi nggak mood, pasar bisa jadi jadi alternatif refereshing yang lumayan nih.
Sampai di rumah, loh kok sepi, kemana orang-orang? Kupanggil satu persatu tidak ada jawaban, hanya Culun yang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
"Kemana yang lain?" Seperti biasa, dingin dan singkat, bila terpaksa aku harus menyapanya.
"Tadi Bapak dan rombongan yang lain pergi ke kota, ngantar Mbak Dian pulang ke Surabaya."
Ha, semuanya, termasuk Bapak! Brengsek, pasti aku sudah di kerjai orang-orang. Aku segera ganti baju dan memutuskan main ke rumah Paklik.
"Dik, tidak sarapan dulu ?"
Hiiih, ngapain sih dia pake nanya segala, biasanya kalo aku tidak nanya, dia juga tidak ngomong. Aku menggeleng. Dan agar si Culun tidak lagi mengeluarkan suaranya, aku segera menuju ke ruang makan. Kulirik sekilas, loh, kok berani-beraninya dia menyusulku, duduk di sampingku dan ikut-ikutan makan denganku? Uh, aku langsung il fil, selera makanku tiba-tiba hilang. Tapi nasi terlanjur ada di piring, gengsi kalau aku meninggalkan meja tanpa alasan. Perasaanku semakin dongkol. Sekali lagi kulirik dia, lahap sekali, emang tadi belum sarapan apa? Ihhh, ngapain aku peduli sama dia.
Dan situasi seperti inilah yang paling aku benci, duduk, berdua, diam, tak ada yang lain. Tiba-tiba aku merasa asing dengan diriku sendiri, dulu, aku paling suka ngerjain anak-anak yang kuper dan pendiam di kampus, tapi sekarang, ah, kenapa jadi keadaan yang malah mengerjaiku?
"Kok nggak ikut?" ku pecah kesunyian, sekedar meneguhkan bahwa aku tidak mudah ditaklukkan suasana.
"Tadi sama Bapak di suruh nunggu di rumah," Culun menjawab santai. Sepi lagi. Aku berpikir keras mencari bahan pertanyaan yang tepat.
"E...., maaf sebelumnya. Tapi kenapa sih dulu itu kamu berani-beraninya ngelamar aku. Padahal kamu kan tidak tahu track record ku seperti apa. Gimana kalau seandainya, ternyata dulu itu aku pernah pacaran, terus hamil di luar nikah, terus aku gugurkan. Emang kalau seperti itu kamu mau?" Aku langsung memancingnya dengan pertanyaan paling ekstrim. Aku masih ingat, dulu, aku dan teman-teman menyebutnya dengan permainan Tak Terkira, yaitu memancing seseorang dengan sebuah pertanyaan yang tidak pernah dia duga. Biasanya, jawaban menunjukkan sejauh mana pengetahuannya.
"La, kamu sendiri kok mau sama saya? Memang kamu tahu perilaku saya?" dengan tenang Culun menjawab, malah sambil tersenyum. Ihhh GR sekali dia. Padahal aku berharap mendapat jawaban yang lebih argumentatif.
"Dulu kamu hidup di pesantren berapa tahun?"
"Tidak lama, tidak sampai lebih dari seperempat waktu dari kehidupan yang akan kita jalani," tambah lama, tambah menjengkelkan saja nih orang.
"Kalau pacaran, jujur aku belum pernah. Tapi yang perlu kamu tahu aku tidak se'manis' anggapanmu, bahkan mungkin anggapan keluargaku sendiri. Kamu tahu, sudah lama aku meragukan ajaran Islam. Sebenarnya Tuhan itu ada nggak sih?" pada kalimat terakhir, sengaja ku pelankan suaraku untuk memberi kesan rahasia. Hahaha, pasti Culun kaget setengah mati mendengar statemenku.
"Masak? Wah bagus dong, saya malah bisa belajar banyak dari sampeyan." Upsss, orang ini sudah benar-benar gila.
"Kamu tahu fenomena ayam dan telur? Apa yang lebih dulu ada, ayamnya atau telurnya? Nah begitu pula hukum kausalitas. Segala sebab, pasti ada akibatnya. Sama dengan alam semesta, dia ada, karena ada yang menciptakan, yaitu Tuhan. Begitu juga, Tuhan tidak mungkin datang dengan sendirinya, Dia juga diciptakan. Tidak ada apapun yang abadi, kecuali keabadian itu sendiri." Culun memandang wajahku, tanpa berkedip. Rasain, aku yakin jurusku cukup manjur untuk membuat dia jengkel dan membenciku.
"Oh iya, begitu juga tentang Nabi Muhammad. Al Qur'an menyebutkan Nabi Muhammad itu Ummi, buta huruf, alias tidak bisa membaca dan menulis. Tapi siapa yang tahu kalau Ia benar-benar Ummi? Jangan-jangan Nabi Muhammad itu sangat cerdas, sehingga sebenarnya dia sendiri yang menciptakan Al Quran. Dan Ia bisa saja kan mengaku-aku Ummi agar pengikutnya benar-benar percaya bahwa yang mengangkat Rosul itu adalah Tuhan, bukan dirinya sendiri," merasa di atas angin, aku semakin semangat bermain kata. Ada dua kemungkinan, kalau si Culun tidak membenciku, bisa jadi dia malah terhegemoni olehku. Wiii..., asyik dong.
"Oke, jadi seperti ini," Culun merubah sikap duduknya, sepertinya dia menjadi lebih serius. "Yang pertama dan ini harus benar-benar sampeyan ingat adalah, selama sampeyan masih menggunakan paradigma rasionalitas dalam memandang sebuah ajaran, apapun itu agamanya, maka sampeyan tidak akan menemukan jawaban apapun kecuali paham sekularisme!" Culun memberikan tekanan yang dalam pada kalimat-kalimatnya. Mungkin biar dia ingin aku terpengaruh olehnya. Yahhh, meski aku akui, muqoddimahnya lumayan juga.
"Yang kedua, jelas bagi kami kaum santri, Allah itu ada karena kami MEYAKINI. Bumi, alam semesta dan seisinya, mutlak diciptakan oleh Allah, Dzat yang maha Abadi. Kalau tentang Nabi Muhammad, kok sampeyan masih mempertanyakan ke"Ummi" an beliau sih, memang sudah lupa sama pelajaran sejarah ya?" Culun mengerlingkan matanya, ih, mukaku jadi merah padam dibuatnya.
"Terakhir, sampeyan pasti ingat pelajaran dari kitab Al Hikam, karangan Ibnu Atho'illah :
Tafakkaruu Fi Kholqi, Wa laa Tafakkaruu Fil khooliqi. Fainnahu Laa Yuqoddaruuna Qodrohu.
Berfikirlah kamu tentang apa yang diciptakan, dan janganlah kamu berpikir siapa yang menciptakan. Maka sesungguhnya kamu tidak akan pernah punya kemampuan (untuk memikirkannya)...... Bagaimana, ada pertanyaan yang lain Ibu Guru yang manis?" Aku dibuat melongo dengan jawaban Culun, eh maksudku Yusuf. Argumentasi yang kuat, pilihan kata yang tidak menggurui, dan Oh Tuhan, kemampuan bahasa arabnya fasih sekali.
"Hai kok diam saja. Lagian sampeyan itu sejak tadi omongannya ngalor ngidul, sekarang hari apa sih, obatnya sudah habis ta?" canda Yusuf sembari menempelkan tangannya ke jidatku. Glek, mungkin, sebelum terjadi percakapan di meja makan ini, aku pasti sudah mencak-mencak dengan perlakuannya padaku. Tapi sekarang, aku hanya diam saja, sambil memandanginya.
Ya Allah, mungkinkah aku telah jatuh cinta?
*********
Dari dalam kamar, sayup-sayup ku dengar suara Tukul Arwana di TV "Istimewakan lah Suamimu, maka kamu akan menjadi istri yang istimewa". Aku hanya tersenyum. Beerrrr, dingin sekali, kubenahi selimut di kaki suamiku yang tersingkap......