Oh, biarkan saja dia bicara. Karena aku semakin tidak mengerti, maka biarkan saja. Perkataannya yang membingungkan membuat kafe ini terasa seperti ruang kelas pada saat pelajaran matematika atau fisika. Dan jika ini ruang kelas, maka dia tidak cocok diibaratkan teman sekelas yang sedang mengajakku mengobrol ramai pada jam belajar. Dia persis seperti guru yang sedang membuktikan kesaktian rumus-rumus pada muridnya yang bodoh dan disela-sela penjelasannya dia akan banyak bertanya: kau sudah paham? Dan kau tahu, pertanyaannya bertambah setiap menit dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi.
“Kau tahu, berapa lama aku menunggumu?”
Matilah aku! Kata “berapa lama” biasanya digunakan untuk menanyakan kecepatan dalam menempuh jarak tertentu. Tapi itu pelajaran anak SD. Dan “berapa lama aku menunggumu” tentu bukan pertanyaan untuk anak SD. Biasanya saat ada pertanyaan semacam ini, yang pertama kutulis adalah urutan cara menjawabnya, dimulai dari kata diketahui, ditanya, jawab. Tapi aku orang bodoh ini seperti sedang berdiri di depan papan tulis dan berhenti lama setelah menulis kata diketahui. Aku sudah ingin menangis tapi airmata tak ada gunanya, selain untuk menghapus kata diketahui, dan itu hanya membuat papan tulis semakin kosong dan kebodohanku semakin parah.
“A…. Aku…. Aku ingin pulang….” Aku berkata terbata sambil menunduk.
“Tapi kau belum menjawab satupun pertanyaanku.”
Oh, begitukah? Jadi kafe ini sungguh berubah menjadi ruang kelas? Dimana orang bodoh tidak boleh pulang sebelum dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Dari tadi kau bertanya bagaimana, berapa lama, kapan, dan jika aku diam cukup lama, kau akan melanjutkan kata-kata yang terdengar seperti rumus fisika, lalu kimia, lalu matematika.
“Aku mencintaimu, Sha. Kau ingin berapa kali aku menanyakan ini padamu? Maukah kau menjadi kekasihku?”
“Zonk….”
“Zonk???”
“Bolehkah aku menjawab begitu? Zonk?”
“Oh Tuhan! Seandainya saja aku boleh memaksamu untuk berkata iya, lebih baik aku memaksa saja dari tadi. Tapi aku ingin mendengar jawaban yang tulus dari hatimu. Demi semua itu, aku rela menderita Sha, menderita karena harus bertanya sebanyak ini….”
Wajah bodohku ini sudah pasti sangat maksimal. Matanya bulat dan ini lebih dari sekedar cembung. Melainkan bola matanya sudah mau lepas. Oh, hey, sebentar. Sepertinya aku menemukan ide. Temanku pernah berkata, selesaikanlah masalah dengan menggunakan bahasa. Hindari menyelesaikan masalah menggunakan angka karena akan menjadi rumus. Oleh sebab itu, yang pertama harus dilakukan adalah mengetahui topik permasalahan. Akar serabut di otakku sepertinya baru saja menyerap makanan sehingga aku bisa mengingat soal yang paling sering kubaca di buku LKS.
“Apa… Topik dari…….” Aku yakin pertanyaanku sudah maksimal.
“Cinta, Sha! Maukah kau menerima cintaku?? C… C… Cinta…!!” Jawabnya sambil melengkungkan jari telunjuk dan ibu jari sehingga membentuk sebuah huruf.
“Ya ampun, lelaki penuh rumus ini! Untung saja barusan aku bertanya. Bukankah sudah kukatakan kemarin aku tidak lulus ujian Paket C? Aku tidak bisa menjawab, makanya lembar jawabannya hanya kukosongkan saja, tidak kuisi….”
Tampaknya dia terharu atau semacamnya dengan jawabanku itu.
“Aku akan berusaha tabah menghadapi ini, Sha. Tapi sebelum itu, ijinkan aku menangis tersedu-sedu di bahumu…. Aku jatuuuh…. Aku sangat rapuuuh….” Mulut lelaki itu jadi tampak bergelombang seperti lukisan ombak.
Oh, dunia…. Dan Tuhan…. Susah juga menjadi orang bodoh….