Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Another Horror Story about Poligami

18 Juni 2012   04:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:51 579 7

Tiga istri, dua belas anak. Aku harus mengakui, aku mulai tidak bahagia. Istri ketigamu itu kian lama kian seperti siluman bunglon. Hari ini berwajah polos, esok memasang wajah sedikit murung. Tapi di setiap pagi dan sore, dia seperti penjaga waktu. Pagi hari dia mengantarmu sampai beranda dengan wajah ceria, dan sepulang kau kerja dia telah menungguimu dari balik pintu.

Disaat-saat seperti itu, aku dan Litha akan bertanya-tanya, kenapa dia tidak berusaha berbincang-bincang dengan istri yang lain. Ketika kau tak ada, dia merapatkan anak-anaknya dalam pelukan. Seperti membisikkan mantra-mantra. Seperti menanamkan cara-cara. Dia tidak memandangku. Dia sama sekali tidak memandangku. Hanya sekali ketika kubawa dia masuk ke rumah saat itu dia meneteskan air mata. Aku iba. Tapi beberapa saat setelah itu barulah aku tahu dia menggunakan cara-cara yang berbeda.

Aku mengintip dari celah udara. Terkadang aku menempelkan telingaku pada dinding, berusaha mendengar sayup-sayup kata-kata yang tak kukenal. Selalu, dia menutup rapat pintu kamarnya. Seperti mayat hidup. Ya, seperti mayat yang hanya hidup jika kau ada.

“Dia sinting” bisik Litha saat mendengar sayup-sayup suara itu.

“Bukan hanya sekedar sinting. Dia sakit.”

“Iya, terus gimana? Masak kita membiarkan orang sinting itu bertingkah aneh terus?”

“Tunggulah sampai tiba waktunya aku marah, dia tak akan selamat.”

“Tapi dia cari muka terus di hadapan Bagus. Bahkan beberapa hari ini, Bagus tidur di kamarnya terus. Kamu tidak marah Isaura?”

Aku diam.

*******

“Hany. . . .” Aku mencium suamiku yang duduk di ruang tengah.

“Ada apa sayang?”

“Duiiitttt. . . Aku sama Litha mau ke salon nih”

Lalu kau memberiku selembar uang seratus ribuan. Tak berapa lama istri ketigamu itu mendekat, dengan wajah pilu yang dibuat-buat.

“Mas, aku mau beli mie instan. Si Tono ingin dibikinkan mie.”

Lalu kau memberinya juga selembar uang seratus ribuan. Aku muntab. Aku berjalan cepat kearah Litha yang telah menunggu di depan. Sampai di luar, airmataku berjatuhan.

“Isaura, ada apa?”

“Sudah, ayo cepat pergi.”

“Tapi kenapa kamu menangis?”

Aku diam. Litha menghapus airmataku dengan jemarinya.

“Ya sudah, ayo berangkat. Jadi berangkat ke salon sekarang kan? Jangan menangis lagi.”

“Kamu ke salon saja sendiri. . .”

“Lho, kamu gimana sih? Katanya ngajak ke salon. Ya sudah, kalau tidak jadi, ke café saja. Kita cerita-cerita sambil makan.”

*******

Di café itu, aku hanya memesan juice apokad kesukaanku. Aku diam begitu lama. Litha menawariku bermacam makanan yang disediakan disana. Aku tak berselera.

“Ada apa Isaura? Kamu dari tadi diam, aku jadi tidak mengerti.”

“Aku heran, perempuan korak seperti itu, apa hebatnya sih?”

“Memangnya ada apa? Kalau dia cari masalah, biar aku saja yang hajar!”

“Masak kita ke salon di kasih seratus ribu. Giliran dia beli mie instan juga dikasih seratus ribu. Biaya salon kita nggak lebih dari uang jajan mie instannya dia!”

“Apa? Kurang ajar si Bagus! Biar nanti kuporoti! Terus kita ke salon bareng.”

“Nggak usah. Apa kamu lupa, wanita itu punya mantra.”

“Iya, masakannya dia yang biasa di bilang enak. Giliran aku masak enak, eh si Bagus nggak memuji.”

“Lihat anak-anaknya itu. Tidak mau bergaul dengan anak-anak kita.”

“Cih! Memangnya dia siapa! Sudah untung dulu kamu mau menampung dia Isaura! Harusnya dulu kita injek-injek!”

“Kalau memang sudah saatnya membuang, ya sudah mari kita buang.”

“Bagaimana caranya Isaura? Apa Bagus setuju?”

“Kenapa harus menunggu dia setuju?”

*******

Beberapa hari setelah itu, saat Bagus suamiku pulang kerja, aku menyambutnya dan membukakan pintu.

“Mana istri ketiga?”

“Hany, kau pulang-pulang langsung mencarinya. Yang ada di pikiranmu cuma dia.”

“Bukan begitu, biasanya dia yang membukakan pintu.”

“Sekali-sekali aku kan juga ingin membukakan pintu. Oya, kamu pasti lapar. Aku sudah memasakkan sesuatu untukmu.”

“Wah, tumben sekali kau mau masak. Biasanya Litha atau istri ketiga. Ada apa hany?”

“Bagaimana istri ketigamu itu bisa memasak, dia pergi entah kemana. Tadi ada lelaki yang menjemputnya. Katanya ingin pergi jauh. Eh, sudah, sudah, ayo makan dulu.”

Kau penasaran dengan menu masakanku hari itu. Tanpa berganti baju terlebih dahulu, kau segera menuju meja makan. Kau lihat hidangan yang tak biasa. Seperti bukan masakan yang kau makan biasanya. Baunya harum. Setiap bumbu, potongan daging dan sayur begitu menggoda.

Ya, kau lalu makan dengan lahap. Bahkan kau habiskan seluruh masakan itu. Kau bilang soup itu nikmat sekali, meski warnanya sedikit merah. Dan daging itu, teksturnya tak seperti daging pada umumnya. Lalu kau memujiku. Lupa akan kepergian istri ketiga yang baru kuceritakan.

Ya, tentu saja lezat. Soup dengan tetesan darah istri ketigamu. Daging, dan potongan jari anak-anakmu tentu rasanya lain. Dan telur dadar itu. Ah, tidak sia-sia aku mencongkel bola mata mereka. Hari ini aku masak besar, suamiku. Masih ada banyak di dapur jika kau mau. Dan kuah di dapur itu, rasanya lebih kental dan merah! –happy ending-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun