Pembakuan bahasa sejatinya sering menjadi polemik di kalangan ahli bahasa. Tidak sedikit kritikan terhadap hasil pembakuan lema pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tiap tahunnya, dan banyak juga yang memandang perlunya perombakan TBBI (Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia) yang saat ini diberlakukan. Adapun tulisan ini bukan merupakan kritikan terhadap dua garda pembakuan bahasa terdepan (selain EYD), melainkan hanya akan melihat satu sisi sebagaimana tertuang di judul dari sudut pandang linguistik secara umum.
Hemat saya, sebagaimana pengambilan dialek terkuat sebagai "bahasa nasional" yang berlaku di Prancis pada abad 17-18, pembakuan bahasa seharusnya mengambil kaidah-kaidah pemakaian bahasa paling umum di masyarakat, bukan dengan pemberlakuan sistem yang kaku.
Apakah harus selalu luluh?
Hal yang menggelisahkan saya adalah pada pemberlakuan peluluhan secara massal fonem /p/ untuk semua kata dasar yang sudah "meng-Indonesia", misalnya /pukul/ --> /memukul/ atau /perkara/ --> /memerkarakan/.
Agaknya, masalah "p" luluh dan tidak luluh berkaitan dengan "pemograman" bahasa" dalam pembakuan bahasa Indonesia ("pemograman" ini istilah dari Verhaar; pandangan saya dalam tulisan ini mengikuti pandangan beliau).
Pertanyaan yang sering kali diajukan, misalnya, yang benar itu:
(1) "memprakarsai" atau "memrakarsai"?
(2) "mempercayai" atau "memercayai"?
(3) "memperkosa" atau "memerkosa"?
(4) "memperhatikan" atau "memerhatikan?"
(5) "mempengaruhi" atau "memengaruhi"?
Lalu, bagaimana dengan
(6) "mempunyai" dan "memunyai"?
Kalau yang benar adalah "mempunyai", mengapa kelima contoh pertama diharuskan luluh?
Umumnya dengan mudah orang akan bilang: (a) lihat kata dasarnya apa dulu, benarkah berawalan "p" atau tidak, (b) melihat identitas kata dasar itu kata asing atau kata asing yang sudah di-Indonesia-kan, (c) cara untuk mengecek poin (a) dan (b) ada di KBBI. Dengan demikian, kita sudah menyerahkan nasib pertanyaan "mengapa" pada KBBI. Bagi orang yang teliti, jawaban-jawaban seperti itu kelihatannya meragukan.
Secara pedagogis memang diajarkan untuk berbahasa yang baik dan benar, sesuai tuntunan kaidah yang berlaku, yakni KBBI, EYD, dan TBBI. Penggunaan bahasa yang baik dan benar dinilai dari apakah seseorang sudah menerapkan prinsip-prinsip dalam ketiga "kitab suci" tersebut. Orang yang berbahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap terpelajar, lebih teliti, dan sebagainya. Naif, memang.
Hal tersebut tidak berkaitan dengan bagaimana menjawab pertanyaan mengapa banyak /p/ yang tidak luluh dalam pemakaian sehari-hari. Ada hal yang dilupakan oleh banyak kalangan, yakni kita seharusnya (1) melihat etimologi dari kata dan (2) melihat kelaziman pemakaian kata dasar berawalan "p" di masyarakat.
Melihat Secara Etimologis
Andai belajar etimologi bahasa Melayu, kita akan tahu mengapa "p" ada yang luluh dan ada yg tidak.
Sebagai contoh: kata "punya" mengapa jika mendapat prefiks meN- tetap menjadi "mempunyai" dan tidak luluh? Jawabannya mudah saja jika menelaah teks-teks Melayu pada zaman dahulu. Hal itu karena "punya" merupakan kata bentukan baru dari "pu" (artinya 'pemilik') dan pronomina "-nya" yang juga sering diemfasis (ditekankan) dengan nasalisasi di depan (pada kata "empu") sehingga kita tidak dapat menentukan apakah kata dasarnya "punya" atau "empu" karena ada kata "empunya" (baca: van Ophoijsen, 1915).
Oleh karena itu, sah-sah saja jika orang menyebut "mempunyai", dan bukan "memunyai". Ini pula yang saya yakini menjadi penyebab mengapa orang masih suka menyebut "memperhatikan" dan "mempengaruhi" dibandingkan dengan "memerhatikan" dan "memengaruhi" yang baru terdengar dalam satu dasawarsa terakhir. Kaum pedagogis menyebut kedua kata itu salah, yang benar adalah "memerhatikan" dan "memengaruhi" karena sesuai kaidah KBBI dan EYD. Sebagian kalangan meyakini bahwa kata dasarnya adalah "perhatikan" (ada yang pernah menyebut "perhati-" --> "perhatian") dan "pengaruh". Andai kita lebih teliti, kedua kata tersebut adalah kata bentukan, bukan kata asli.
Kata dasar "perhatikan" berasal dari kata pradasar "hati" yang telah mendapatkan afiksasi "per-/-kan". Penggeseran makna "hati" yang bermakna denotatif 'jantung' menjadi "hati" yang konotatif (misalnya dalam "Hatiku hancur karena cintaku kau tolak" atau "Hati-hati di jalan") membuat "hati" yang bermakna konotatif diafiksasi sehingga menimbulkan makna baru pada kata bentukan dari "hati": "perhatikan" (kata dasar) dan "perhati" (kata pradasar). Jadi, dari kata dasar dan pradasar yang dibentuk dari "hati" tersebut, maka kemudian dijadikan entri leksikon dalam KBBI (tanpa pernah dijelaskan).
Sebagai awalan dan pengetahuan bersama, saya berasumsi bahwa jarang ada kata dasar lebih dari dua silabe yang diawali "peng-", "per-", "pem-", atau "pe-" dalam bahasa Melayu. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Mungkin ada korelasinya dengan kata "aruh" dengan bahasa Melayu-Malaysia, kata "aruh" di sana bermakna 'induksi' atau "aruh" dalam bahasa Jawa yang masih erat hubungannya dengan bahasa Melayu (pada kata "aruh-aruh" dan "naruh"). Â Asumsi saya atas kata dasar "pengaruh" ini memang kata bentukan, bukan kata yang sejak dahulu ada. Â Hal yang sama berlaku untuk kata "mempercayai" (dari kata "caya" / "cahaya"), "memperkosa" ("kosa"), "memprakarsai" ("karsa"). Sungguh kesemuanya memerlukan penyelidikan lebih mendalam secara etimologis. Sulit memang, tapi mengapa tidak?
Faktor Kelaziman
Harus dilihat ke sejarah bangsa ini, belum ada seabad Indonesia merdeka. Pendidikan formal di negeri ini belum berlangsung selama dua abad. Dinamika modernisasi sosial berubah dari bangsa petani dan nelayan tradisional dengan sistem kerajaan, menjadi bangsa yang melakoni berbagai kegiatan modern, semacam pemerintahan presidensial, demokrasi, berbagai pekerjaan modern dengan kegiatan-kegiatan modern (misalnya dosen, hakim, wartawan, politisi, dan sebagainya), dan sebagainya. Untuk mengakomodasi modernisasi sosial, masyarakat tentu butuh kata-kata baru untuk berkomunikasi secara lebih efisien. Hal tersebut kemudian memicu munculnya keperluan untuk diadakannya kata-kata baru. Kata-kata baru tersebut diambil dari dengan tiga cara: (1) pengambilan kosakata daerah dan sansekerta yang kemudian diadaptasi baik secara makna maupun ejaan, (2) adaptasi kosakata asing, dan (3) pengambilan bentuk-bentuk yang sudah ada untuk kemudian dijadikan kata bentukan yang baru.
Pemakaian kata dasar berawalan /p/ dapat dilihat dari kata "produksi" dan "pesona". Kata "produksi" , meskipun sudah lazim dipakai,  masyarakat masih lebih suka memakai "memproduksi" daripada "memroduksi". Hal ini karena kata "produksi" masih beraroma "Inggris". Sementara itu, kata "pesona" sebagaimana pada teks-teks melayu pada masa dulu jarang dijadikan verba atau adjektiva sehingga kata "mempesona" lebih akrab di telinga pendengar dibandingkan "memesona". Menurut saya, berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan dari berbagai bacaan, sejatinya prefiks meN- bukanlah prefiks paling produktif dalam bahasa Melayu pada zaman dahulu. Hal ini menyangkut karakter bahasa Melayu asli yang lebih dominan berstruktur "pasif" daripada "aktif", dan meningkatnya produktivitas bahasa aktif dalam bahasa Melayu ini kemungkinan karena pengaruh kuat bahasa asing, terutama bahasa Eropa yang menjajah Tanah Air. Sementara itu, sudah lazim dalam bahasa jurnalistik dewasa ini terdapat pelesapan meN- secara sengaja dalam bahasa aktif tetapi masih menampakkan prinsip kejelasan (misalnya kalimat berita "SBY akui telah menerima suap" sudah jelas, tidak perlu meN-) . Hal tersebut menyiratkan bahwa ternyata meN- yang bernuansa verbal (bukan yang adjektival) tidak terlalu penting keberadaannya dalam bahasa Melayu  (dibahas lain kali).
Pengaruhnya terhadap Masa Depan Bahasa Indonesia
Dengan adanya "pemrograman" bahasa, yang disertai penyuluhan dan imbauan kepada para kuli tinta maupun editor dan guru, serta tiadanya pengetahuan yang mencukupi untuk mengkaji secara lebih mendalam permasalahan di atas (sebagaimana saya), sisi positif yang bisa ditarik adalah
(1) semakin gampangnya mempelajari bahasa Indonesia (baik bagi masyarakat Indonesia maupun penutur asing) karena kaidah morfofonemik sudah semakin pakem,
(2) semakin memisahnya bahasa Indonesia dari bahasa Melayu sebagai "induknya" akan lebih menumbuhkan rasa cinta tanah air dan perasaan memiliki bahasa tersendiri (kasus yang mirip dengan "Amerikanisasi" bahasa Inggris pada abad 18, kalau tidak salah),
(3) poin (1) dan poin (2) di atas membuat semakin banyak orang Indonesia ber-bahasaibu-kan bahasa Indonesia karena dirasakan lebih "logis" dan lebih prestisius dibandingkan dengan bahasa daerah.
Namun, apakah peluluhan ini hanya karena ingin memudahkan pembelajaran bahasa Indonesia? Mengapa tidak membiarkan fenomena tersebut dengan asumsi kepakeman dari sudut pandang etimologis? Jika peluluhan morfofonemik "pakem" tersebut akan terus diberlakukan, maka hal tersebut akan menjadikan semakin lebarnya jurang antara bahasa tulis dengan bahasa tutur yang sering dipersoalkan sejak zaman batu (hehehehe, ngacau).
Pengkajian secara etimologis ini penting supaya generasi sekarang dan generasi mendatang tidak melupakan jati diri bahasanya dan mampu menjelaskan secara lebih komprehensif berkaitan dengan fenomena morfofonemik semacam yang dipaparkan di atas.