"Dana ini untuk biaya politik. Misalnya membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS), biaya untuk parpol yang mengusung dalam kampanye dan sebagainya," kata Ali sebagaimana dikutip beberapa koran dan media massa lainnya, beberapa hari lalu.
Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang, Muchammad Yulianto, berpandangan apa yang dikemukakan Ali itu mengakibatkan "orang baik" sulit menjadi pemimpin [gubernur Jawa Tengah]. Orang baik yang dia maksud adalah orang yang punya integritas tinggi dan kapabilitas tinggi.
Sebaik apa pun seseorang jika tak punya dana minimal Rp100 miliar niscaya mustahil bisa menduduki kursi gubernur Jawa Tengah. Fakta ini memang realitas politik kita. Biaya yang demikian besar terkait erat dengan "sistem politik" di negeri ini yang didominasi logika transaksional.
Umumnya partai politik yang "diakui" masyarakat, artinya eksistensinya mengakar, punya pendukung banyak, punya anggota banyak, massa fanatik yang banyak pula, akan "memasang harga tinggi" jika ada orang yang "butuh dukungan" untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.
Partai-partai yang "tak diakui" masyarakat pun masih punya kekuatan "memasang harga tinggi" karena teken ketua dan sekretaris partai sangat berharga dalam dokumen pendaftaran calon kepala daerah ke KPU, yaitu sebagai bukti dukungan minimal partai politik sebagaimana syarat yang ditetapkan UU dan peraturan KPU.
Sistem yang sangat merusak ini bisa dikoreksi. Kisah pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah contoh minimal. PDIP menggunakan logika yang melawan arus besar politik transaksional ini dengan mengajukan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Pasangan "tak dikenal" di Jakarta dan "katanya" tergolong miskin pula ini terbukti mampu menarik dukungan publik/pemilih di DKI Jakarta dengan memenangi pemilihan tahap I.
Jika pada pemilihan tahap II pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi pemilihan gubernur DKI Jakarta, itu artinya ada koreksi signifikan atas logika transaksional dalam sistem politik kita. PDIP berani melawan arus dengan memilih sosok yang "miskin" (setidaknya dibandingkan dengan kandidat lain yang juga pernah dilirik dan melirik PDIP), relatif tak dikenal publik Jakarta dan hanya mengandalkan rekam jejak positif ketika memimpin daerah di luar Jakarta.
Dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah PDIP punya peluang sama. PDIP di Jawa Tengah berpeluang menerapkan strategi populis-ideologis sebagaimana dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Strategi populis yang saya maksud adalah keberanian memilih kandidat yang secara politik tak dikenal di Jakarta tapi dikenal luas di akar rumput.
Strategi ideologis yang saya maksud adalah kemauan PDIP untuk "tak memilih" kandidat berlogistik banyak dan kemudian memilih kandidat yang relatif jauh lebih miskin. Di Jawa Tengah PDIP berpeluang menerapkan strategi yang sama.
Sampai hari Kamis, 6 September 2012, DPD PDIP Jawa Tengah menerima pendaftaran 22 orang calon gubernur dan calon wakil gubernur. Jumlah 22 ini membuktikan bahwa sebenarnya banyak sosok yang merasa sanggup menjadi pemimpin di Jawa Tengah.
Secara pribadi saya yakin di antara 22 orang itu ada sosok yang sangat kredibel dan punya kemampuan kepemimpinan yang baik. Persoalannya, mayoritas di antara 22 orang itu "pasti" tak punya dukungan dana minimal Rp100 miliar tersebut.
Persoalan ini akan selesai --setidaknya sebagai awal mengoreksi sistem politik kita yang transaksional itu-- bila PDIP menggunakan logika ideologis-populis saat menentukan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan maju dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah pada 2013 mendatang.
Kepastian bahwa Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo tak mendafatarkan diri ke DPD PDIP Jawa Tengah membuka peluang lebar bagi PDIP untuk menentukan sosok-sosok yang "relatif baru"Â untuk diajukan dan didukung dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah.
Dalam konteks ini, percepatan koreksi atas sistem politik kita yang transaksional bisa dilakukan oleh rakyat yang punya hak pilih. Rakyat yang cerdas secara politik akan melihat sosok kandidat pemimpin, program kerja yang ditawarkan dan rekam jejaknya ketimbang hanya memperhatikan "kebesaran" partai pengusungnya.
Dilihat dari realitas politik di Jawa Tengah, sejauh ini memang baru PDIP yang menampakkan diri sebagai partai yang siap berkompetisi dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah dengan membuka pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur. Parpol harus menuju ke strategi politik ideologis-populis untuk mengoreksi sistem politik transaksional di negeri ini. PDIP telah memulainya di DKI Jakarta. Jika konsisten, mestinya strategi ini diterapkan di Jawa Tengah. Jika tidak, artinya PDIP tak lebih baik dari partai lainnya.