Yang jelas begini, Matah Ati yang digelar tiga kali selama tiga malam di Pamedan Pura Mangkunegaran, Solo selalu penuh penonton. Tak sedikit penonton yang datang dua atau tiga kali (yang datang tiga kali berarti menyaksikannya tiap pertunjukan di gelar).
Dan saya yakin seyakin-yakinnya, mayoritas dari ribuan penonton yang hadir di Pamedan Pura Mangkunegaran selama tiga kali pertunjukan Matah Ati itu adalah orang yang awam seni, terutama seni tradisi. Faktanya, mereka begitu terpikat dengan pertunjukan yang berbasis Langendriyan khas Mangkunegaran itu.
Saya menyaksikan Matah Ati pada Sabtu malam (8 September) atau malam pertama dari tiga malam pertunjukan di Solo. Sebelumnya, Matah Ati dipertunjukkan di Esplanade Singapura dan di Teater Jakarta. Di Singapura dan Jakarta Matah Ati dipertunjukkan di dalam ruangan. Sementara di Solo, Matah Ati dipertunjukkan di Pamedan Pura Mangkunegaran alias alun-alun mini Istana Mangkunegaran.
Bisa jadi perbedaan format pertunjukan indoor dan outdoor ini berpengaruh signifikan terhadap animo penonton ketika digelar di Solo. Publikasi yang masif bisa jadi juga menjadi pendukung utama kesuksesan pertunjukan di Solo.
Saya memilih memandangnya dari sisi yang lain. Komponen utama pertunjukan Matah Ati adalah seni tradisi: langendriyan khas Mangkunegaran, tari-tarian klasik, musik gamelan dan busana yang khas tradisi Jawa (Solo, dan lebih khusus Mangkunegaran).
Cerita yang menjadi alur pertunjukannya juga bersifat "tradisional", yaitu kisah Rubiyah, istri Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, ketika mendampingi pendiri Kadipaten Mangkunegaran itu melawan penjajah Belanda.
Rubiyah adalah gadis desa keturunan keluarga berdarah biru yang diperistri Raden Mas Said. Rubiyah kemudian memimpin prajurit wanita yang menjadi salah satu kekuatan militer pendukung Raden Mas Said ketika berperang melawan Belanda.
Bagi generasi muda sekarang, kisah tentang Rubiyah ini jelas asing. Di Solo tak banyak--bahkan bisa dikatakan tak ada--publikasi, kajian tertulis, atau artikel yang bisa diakses publik secara mudah yang menceritakan siapa Rubiyah ini.
Catatan tentang Rubiyah hanya ada di Reksapustaka Pura Mangkunegaran, perpustakaan di Istana Mangkunegaran yang menyimpan naskah-naskah kuno dan klasik peninggalan kebudayaan Jawa era kerajaan.
Mengapa ketika dipentaskan dalam wujud pergelaran seni yang cukup "berat" ternyata mampu menarik perhatian banyak orang, bahkan orang awam sekalipun?
Saya lalu teringkat dengan penjelasan budayawan cum sastrawan Goenawan Mohamad (GM) dalam acara Konferensi Federation of Asian Culture Promotion (FACP) ke-30 di The Sunan Hotel Solo. Dalam acara yang berlangsung 6-9 September lalu itu, GM mengatakan tradisi bagi generasi yang lebih baru sebenarnya bukan mimpi buruk. Istilah mimpi buruk untuk menyebut tradisi (seni tradisi) menurut GM sangat keterlaluan.
Seni tradisi terkait erat dengan zamannya. Dalam konteks perubahan zaman, seni tradisi akan tetap hidup, diterima, dan bahkan dijadikan sumber nilai-nilai ketika disertai kreativitas. Menurut saya, kreativitas inilah yang membikin Matah Ati yang berformat sendratari itu bisa diterima publik saat ditampilkan dalam format outdoor di Solo.
Kreativitas dalam Matah Ati inilah, menurut saya, adalah faktor utama yang mampu menarik perhatian publik dan bahkan orang awampun bisa menikmati pertunjukannya. Penonton paling awam tak perlu memedulikan apa cerita yang digambarkan dalam pertunjukan itu.
Cukup dengan menikmati sajian tarian, racikan busana dan tata panggungnya, penonton--siapa pun dia--bisa menikmati keindahan karya seni yang bisa diapresiasi tanpa teori dan kerangka berpikir tertentu. Kreativitas merelatifkan seni tradisi sehingga bisa disesuaikan dengan realitas zaman.