Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menziarahi Sastra Jawa

28 Februari 2012   00:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:50 393 1
Sabtu, 25 Februari 2012, malam. Di tengah gemuruh hujan yang mengguyur Kota Solo dan sekitarnya, saya sempatkan keluar rumah menuju Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo. Saya merasa "berdosa" jika tak memenuhi undangan kawan saya, Bonari Nabonenar, Sekretaris Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ).

Dia mengundang saya melalui SMS agar saya hadir dalam pertemuan OPSJ malam itu. Saya menemukan sesuatu yang sangat tak biasa setiap menerima undangan atau sekadar pemberitahuan ada pertemuan yang membahas sastra Jawa atau bahasa Jawa.

Mungkin saya termasuk bagian kecil orang Jawa yang selalu gelisah melihat realitas bahasa dan sastra Jawa kini yang "mati". Kegelisahan saya itu biasanya terobati, atau malah makin menjadi-jadi---dan ini yang saya sebut sesuatu yang tak biasa itu--setiap kali saya hadir dalam acara-acara yang bertemakan sastra Jawa dan bahasa Jawa.

Pukul 20.00 WIB, saya sampai di Pendapa Wisma Seni. Di sana masih sepi. Saya sempat berbincang-bincang beberapa jenak dengan Sucipto Hadi Purnomo, dosen bahasa dan sastra Jawa di Universitas Negeri Semarang (Unnes) sekaligus pejabat humas Unnes, yang beberapa pekan lalu menerima hadiah Rancage 2011 sebagai sosok yang konsisten berperan serta melestarikan bahasa dan sastra Jawa.

Dalam persepsi saya, Sucipto ini tergolong generasi muda pelestari bahasa dan sastra Jawa, walaupun usianya memang sudah tak muda lagi---dia selalu mbesengut jika mendengar kalimat demikian--setidaknya dia lebih tua dari saya. Tapi, prejengan atau penampilannya memang gaul abis.

"Sastra Jawa sekarang kehilangan patokan. Sastra Jawa sekarang kehilangan model karya sastra yang berestetika tinggi. Sastra Jawa sekarang kehilangan contoh atau panduan tentang karya sastra yang berkualitas. Akibatnya, generasi muda yang mencoba-coba berkarya sastra Jawa hanya menghasilkan karya sastra yang tak layak disebut karya sastra," kata Sucipto.

Model sastra Jawa yang jadi panutan sekarang adalah geguritan, crita cekak dan esai yang biasa diterbitkan oleh media berkala berbahasa Jawa seperti Jagad Jawa SOLOPOS, Djaka Lodhang, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari Kedaulatan Rakyat dan beberapa media berbahasa Jawa yang bersifat media komunitas.

Kini, banyak situs berbahasa Jawa di internet, termasuk grup sastra dan bahasa Jawa di Facebook, tapi tak menyajikan model karya sastra Jawa yang berestetika tinggi. Realitas inilah yang jadi pokok pembahasan dalam pertemuan OPSJ, Sabtu malam itu.

Saya merasa miris begitu seluruh undangan yang berjumlah 20-an orang itu berkumpul di Pendapa Wisma Seni TBJT Solo. Miris, karena semuanya tergolong manusia lanjut usia (lansia). Hanya Sucipto dan Bonari, ditambah seorang dari Surabaya yang tergolong muda, walau usia mereka di atas saya. Saya memilih memosisikan diri di luar lingkaran "sastrawan Jawa". Saya hanyalah penikmat bahasa dan sastra Jawa yang kebetulan lahir dan dibesarkan di "dunia Jawa".

Di antara undangan yang hadir ada Mbah Suparto Brata yang penampilannya malam itu mengingatkan saya pada sosok-sosok seniman revolusioner yang gambarannya saya peroleh ketika membaca khasanah kesastraan kita yang membahas tentang seni, revolusi, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Malam itu, Mbah Parto bercelana kain warna hitam, berkaus merah, bertopi biru tua. Penampilannya terkesan "revolusioner" dengan kaca mata dan janggut putihnya yang memanjang. Hadir pula Amie Williams yang di Facebook punya pengikut berjibun--sudah lansia pula, kemudian ada Daniel Tito asal Sragen yang menekuni sastra Jawa sejak 1970-an--jauh sebelum saya lahir, ada Dhanu Priyo Prabowo dari Balai Bahasa Yogyakarta yang nyaris selalu saya temui di setiap acara tentang bahasa dan sastra Jawa, terlihat pula Pakdhe Uban yang merupakan generasi lawas sastra Jawa dan jadi dalang di Bojonegoro.

Dan masih ada beberapa sosok lainnya yang nama-nama mereka sudah saya kenal pada era 1980-an, era ketika saya masih sekolah di SD dan mulai melek aksara Latin dan aksara Jawa. Rasa miris saya makin menjadi-jadi ketika Daniel Tito dengan gaya biacaranya yang "asal njeplak" mengkritik habis-habisan acara malam itu.

"Ini bukti sastra Jawa sudah mati. Lihat saja, yang hadir di sini adalah orang-orang yang selalu saya temui sejak 1970-an. Orang-orang yang selalu berbicara dan berkarya tentang sastra Jawa. Mana generasi mudanya? Seharusnya OPSJ menggalang dan menghimpun generasi muda yang tertarik dengan sastra Jawa. Yang hadir malam ini justru menguatkan bahwa sastra Jawa sudah mati, hla semau sudah bau tanah, tinggal menunggu saat meninggalkan duni. Dan setelah itu cures," kata Daniel dengan bahasa Jawa ngoko.

Rasa miris saya sedikit terobati oleh optimisme Suciptp dan Bonari. Sucipto adalah Ketua OPSJ. Mereka berdua yang kini jadi semacam pemantik pertemuan-pertemuan sastrawan Jawa. Malam itu, Sucipto menjelaskan rencana kerja OPSJ yang penuh optimisme, yaitu menerbitkan buku-buku karya sastra Jawa dan meracik strategi pemasaran berbasis komunitas.

Sedangkan Bonari meneguhkan tekadnya untuk membawa dan mengembangkan sastra Jawa di jagat maya, di internet. Pada akhir Maret 2012 ditargetkan bisa diluncurkan website khusus sastra Jawa yang akan menjadi pusat komunikasi dan pergaulan seluruh elemen bahasa dan sastra Jawa.

Langkah saya menziarahi sastra Jawa malam itu menambah perbendaharaan sesuatu yang tak biasa atas persepsi saya terhadap bahasa dan sastra Jawa. Yang jelas, saya cinta betul dengan bahasa dan sastra Jawa, walaupun saya bukan sastrawan Jawa dan sama sekali tak punya karya sastra Jawa (yang berestetika tentunya, kalau sekadar coretan ya banyak, wong saya pernah dua tahun mengelola Jagad Jawa SOLOPOS...hehehehhehe.....)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun