Namanya hujan. Dalam novel atau cerpen ia kerap menjadi suatu penghadir suasana yang romantis. Pada puisi pun demikian adanya, ia adalah hal sentimentil. Baik ia dalam deras, atau apalagi rintik. Bahkan ia memiliki istilah khusus: gerimis. Entah mengapa gerimis yang bersijingkat itu memikat siapa saja (tidak cuma pujangga). Apakah karena gerimis itu selalu menggoda orang tuk berlari-lari kecil dibawahnya? Ia juga tidak meminta orang untuk membuka payung. Aneh. Atau apakah ia isyarat untuk sesuatu yang akan hadir yang lebih serius? Seperti intro, begitu. Seperti musik penghantar yang mengiringi seseorang memasuki ruang batin yang lebih sakral dan subtil. Ah, tak tahulah. Seperti puisi, ia memiliki rahim makna, yang tak mungkin dilahirkannya.
KEMBALI KE ARTIKEL