Siang itu di bulan Februari 1981, sosok mayat tidak dikenal, terapung dipinggiran pantai dekat pasar. Orang-orang berkerumun. Kala itu, saya baru berusia sembilan tahun, terjebak menjadi saksi hidup. "Wajahnya mirip orang Jawa, ini Tapol...", ujar warga dengan penuh rasa cemas. Masya Allah, tubuhnya masih tampak segar, darah menetes dari lubang bekas tembakan di bagian kepala, dada dan kaki. Air mukanya terlihat sedih, memendam pesan kekejaman sang pembunuh. Dan anehnya, ketika orang banyak menyaksikan mayat laki-laki itu, tak satupun tentara atau polisi yang bergegas muncul. Beberapa saat kemudian, tiba Om Mat Mahu. Seorang tokoh masyarakat Namlea yang sangat dihormati dan disegani. Ia meminta warga yang sedang melihat kejadian itu, agar mengangkut jenazah ke musola. Mereka memandikan, mengafani, memberikan wangi-wangian dan mensholatinya. Suasana hari itu terasa hening dan penuh hikmat. Puluhan orang yang hadir larut sedih. Dan kejadian ini bukan pertama, tapi sudah sering kali mayat ditemukan terapung, mati mengenaskan di Teluk Kayeli. Kemudian, korban digotong untuk dimakamkan di pekuburan umum, dekat kantor ayah saya. Dalam perjalanan menuju kuburan, saya mendengar ucapan Om Mat Mahu: "Orang ini syuhada, ia berjihad untuk mempertahankan hak-haknya dari penguasa zalim."
Profesor Masuk Penjara Di pertengahan bulan Mei 2005, saat kembali ke Pulau Buru untuk menjenguk keluarga, berhembus berita: Ketua KPU, Prof. Dr. Nazaruddin dan beberapa anggotanya dijebloskan ke penjara. Kejadian ini menuai perhatian masyarakat luas. Beberapa tetangga saya, kebetulan datang bertamu ke rumah, menanyakan berita yang menghebohkan itu. Maklum, mereka pikir saya masih wartawan, dan punya informasi yang lebih dalam tentang kasus tersebut. Menariknya, selama berbincang dengan mereka, terlontar sindiran: "Seorang Profesor, punya banyak titel, katanya bersih, kok bermental maling..." Sepenggal ucapan itu membuat saya terdiam dan hanya bisa mengangguk kepala. Ingatan saya langsung berputar ke masa kecil. Dulu, ketika rezim Soeharto membuang Tapol di pulau kayu putih itu, banyak dari mereka adalah orang-orang cerdas, berjiwa nasionalis dan brilian. [caption id="attachment_93578" align="alignright" width="150" caption="teluk Kayeli, Pulau Buru - google"][/caption] Karya-karya mereka berupa: Jalan, irigasi, sawah, gedung sekolah, gereja, masjid dan pelabuhan, yang sampai saat ini masih membekas. Selain itu, banyak dari mereka adalah petani, guru ngaji, seniman dan pengrajin yang berbakat. Saya lantas berfikir, orang-orang yang terbuang dan hidup dalam penyiksaan masih punya hati nurani dan pikiran yang jernih. Mereka mengais rejeki dengan bekerja walaupun di bawah ancaman moncong senapan. Tanpa disadari, tatapan saya tertuju ke sebuah lukisan. Air mata saya jatuh menetes. "Itu lukisan peninggalan seorang tapol yang ayahku beli tahun 1978..." Tiba-tiba jiwa saya terbakar marah! "Ya,mereka yang berkuasa saat ini adalah intelektual maling, korup dan rakus...!" kataku terucap spontan. Tamu yang masih duduk menikmati kopi di rumahku itu tersenyum lebar. "Bung ical, kita melihat TV, banyak tokoh, ilmuwan dan politisi di Jakarta ditangkap. Apakah ini sebuah pertanda bahwa pemerintah SBY bersih...?"
Ingatan orang desa Lima tahun kemudian, pembicaraan dengan tetangga saya di Pulau Buru, terjawab. Muncul kasus Century yang mencoreng wajah SBY, Boediono, Sri Mulyani, Marsilam Simanjuntak dan beberapa aktor lainnya. Mereka adalah orang-orang yang selama ini mengaku intelektual, paling cerdas, jebolan universitas bergengsi dan punya banyak jaringan di luar negeri. Wow, ternyata bukan lagi korupsi. Namun membobol uang negara dengan modus baru bernama: perampokan...! Saya lantas ingat dengan sosok mayat yang terapung di pantai dekat pasar. Mereka yang hanya berbeda pendapat dengan Soeharto saat itu, diciduk, dibuang ke Pulau Buru dan ditembak mati seperti binatang. Dalam hati saya, bagaimana dengan penguasa saat ini, yang membungkus kejahatan perampokan uang negara dengan berkedok intelektual...? Dan apa yang sedang terjadi dengan sebagian masyarakat kita? Hanya membungkam! Celakanya, orang-orang yang mengaku sarjana, agamawan, wartawan, politisi, justru bertindak aneh. Sibuk membela para perampok berdasi yang duduk di kursi empuk kekuasaan, dengan membawa dalih agama dan sok pintar. Ironis! Berbeda, dengan rakyat di Pulau Buru yang masih polos, ketika melihat mayat Tapol yang tak dikenal, mereka berani mengambil resiko untuk memakamkannya secara manusiawi. Saya yakin, rakyat di daerah lain pun berjiwa demikian. Mereka tidak peduli dengan ancaman tentara dan polisi. Tidak mau tahu mayat itu bernama siapa, asal-usulnya dari mana, namun nurani dan kemanusiaan mereka terpanggil. Dan soal kasus Century, jelas pasti mereka marah...! (
bersambung...) (
baca: 01) Salam, Faizal Assegaf Jkt, 15 Maret 2010
KEMBALI KE ARTIKEL