Peran diplomatik Indonesia dalam percaturan politik internasional makin bobrok. Tidak punya visi dan maaf, cenderung bermental jongos! Kehadiran Departemen Luar Negeri (Deplu) seolah menjadi sarang “wanita simpanan”. Hanya dibutuhkan untuk melayani syahwat kepentingan kekuatan global.
Dalam banyak kasus, peran diplomatik Indonesia terkesan bungkam dan jauh dari visi politik luar negeri bebas aktif. Yakni, bebas untuk menentukan sikap sebagai negara berdaulat, serta aktif dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan dalam mewujudkan peradaban global.
Ketidakjelasan visi dan peran politik luar negeri ini, tidak lepas dari faktor pengaruh kepemimpinan nasional, dalam hal ini bergantung sepenuhnya kepada kemauan politik Presiden SBY. Jika presiden SBY menunjukan kepatuhan kepada kepentingan negara-negara besar, maka posisi Deplu secara otomatis menjadi kerdil dan tak berdaya.
Pada masa Bung Karno, sikap politik Indonesia di dunia internasional tampak heroik, independen dan berwibawa. Kehadirannya menjadi inspirasi dan sekaligus sumber energi nasionalisme bagi rakyat, serta berhasil mendorong rasa percaya diri para diplomat kita untuk bertarung memperjuangkan kemauan Indonesia, dan bahkan hak-hak negara sahabat di pusat-pusat strategis dunia internasional.
Namun sesudah Bung Karno digulingkan, suara politik luar negeri kita berangsur-angsur redup dan nyaris kehilangan pijakan. Di mana kita memasuki tahap-tahap diplomasi politik luar negeri ala rezim otoriter Soeharto yang berciri khas “monggo” kepada campur tangan hegemoni internasional (AS dan sekutunya). Kondisi ini secara samar-samar Indonesia mirip sebuah negara boneka.
Bagaimana dengan rezim SBY?
Hubungan SBY dan keberadaan Deplu tidak lebih merupakan pola hubungan yang bersifat protokoler-administratif. Di mana peran dan fungsi Deplu seolah-olah hanya sebatas mengatur pemberangkatan, penginapan, juru penerjemah dan penyusun teks pidato SBY saat menghadiri atau berkunjung ke manca negara. Posisi Deplu tersebut, terkesan sedikit lebih maju dibandingkan dengan agen pemandu wisata.
Kenyataan itu menyebabkan kinerja Deplu sebagai pusat aktivitas hubungan internasional bagi kebutuhan negara menjadi tidak efektif dan konstruktif. Lebih menyedihkan, peran Deplu telah dimanfaatkan secara terselubung oleh SBY sebagai sebuah lembaga “lobi politik” pragmatis yang bekerja secara tidak transparan, boros anggaran dan menjadi agen kepentingan tertentu.
Sebutlah, dalam menghadapi persoalan hubungan Indonesia dan Singapore, sampai sejauh ini Deplu tidak dapat menghasilkan perjanjian ekstradisi yang dapat memberikan nilai positif kepada penegakkan hukum di Indonesia. Dalam kasus yang mutahir, adalah menyangkut persoalan nuklir Iran, yang sempat mengundang protes dari rakyat dan DPR RI.
Pola hubungan SBY dan Deplu itu, sesungguhnya tidak berbeda dengan hubungan “wanita simpanan”. Sekali, lagi, hanya diperlukan sebagai fasilitas pemuas kepentingan politik internasional SBY yang pro kepada jaringan global yang berhaluan neolib.