“Maksudnya apa Mas?”
“Atau mencintai dua orang yang berbeda mungkinkah?”
“Cinta yang bagaimana maksudnya?”
“Ah sudahlah, hanya pertanyaan saja.”
Akhir-akhir ini Mas Rasyid aneh sekali. Seperti kelihatan bingung. Setiap kali aku bertanya ada apa, dia selalu mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang aku tak mengerti maksudnya. Dan terakhir ia akan katakan, sudahlah lupakan saja.
Seperti biasa aku menyiapkan seluruh keperluannya, sudah enam tahun kami menikah. Setiap kali ia berpamitan padaku untuk berangkat kerja, dia selalu mengecup keningku. Tapi belakangan ini ia sering lupa. Selalu saja terburu-buru. Aku hanya seorang ibu rumah tangga. Setelah Mas Rasyid berangkat kerja, aku selalu dirundung sepi. Tak ada malaikat kecil di rumah kami. Kehadiran seorang anak bagaikan sebuah mimpi.
***
Tak seperti biasa kami tidur saling memunggungi. Aku tak tahu apakah dia masih terbangun atau malah sudah terlelap. Aku tak bisa tidur. Kebiasaan bercerita sebelum tidur rasanya sudah lama kami tinggalkan. Sepertinya banyak hal yang merekatkan hubungan kami tak lagi menjadi rutinitas. Segalanya menjadi sangat hambar.
“Mas apakah cinta bisa terbagi?”
“Maksudnya apa Dek?” jawabnya cepat.
“Baguslah, tenyata Mas belum tidur. Saya hanya merasa, kita seperti orang asing belakangan ini. Berkali-kali saya bisikkan dalam hati, mungkin ini karena kesibukkan kerja Mas. Tapi sepertinya tidak. Adakah hal lain yang perlu saya ketahui Mas?”
Dia diam. Pandangannya menuju ke arah langit-langit kamar. Kupandangi wajahnya. Ah… masih tetap sama. Setiap kali melihat wajahnya, jantungku selalu saja berdetak kencang. Lalu sejurus ia menatap mataku. Ada sesuatu kulihat di matanya. Sesuatu yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.
“Kamu siap mendengarkan Dek?”
“Iya Mas… katakan saja.”
“Aku takut ini akan melukai hatimu, tetapi aku tak mau terus-terusan berbohong padamu, pada hatiku.
Aku menatapnya penuh tanda tanya.
“Mas ingin menikah lagi, apakah Dinda bersedia dimadu?”
Tiba-tiba dadaku sesak. Tak percaya kalimat itu diucapkan oleh lelaki di hadapanku ini. Benarkah apa yang aku dengar. Atau ini hanya sebuah lelucon pengantar tidur?
“Sudah kukira Dek, ini hanya akan melukai hatimu, sudahlah lupakan saja.”
Aku tak bisa lagi menatap wajahnya. Hatiku terlanjur sakit. Air mataku tumpah perlahan. Tak ingin menyalahkannya karena ini juga salahku. Salahku tak bisa membuatnya bahagia, karena aku tak bisa memberikannya keturunan. Ini salahku.
***
Hari ini di hadapan hatiku yang hancur, dia lelaki yang amat aku cintai mengucapkan ijab kabul atas pernikahan keduanya. Wanita itu, wanita pilihannya. Wanita yang membuat cintaku terbagi. Hatiku hancur berkeping-keping, aku tak tahu lagi bagaimana cara mengumpulkannya kembali. Separuh cintaku pergi.***
_______________________