Jadi proses Kebangkitan Nasional tidak lepas dari unsur edukasi, unsur pendidikan. Nah, kembali ke pertanyaan klasik, sudah sejauh mana keberhasilan pendidikan nasional di Indonesia? Jawabannya tergantung sudut pandang.
Kalau saya sebagai tutor homeschooling, sejak Peraturan Mendikbud no 129/2014 pendidikan Indonesia bertambah maju karena ada peluang untuk memilih jalur pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Murid Homeschooling bisa menikmati sekolah harusnya fun, bukan beban, dan berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya termasuk PTN tanpa dihalangi atau direndahkan lagi.
www.mercy-smart.webs.com
Kalau saya sebagai orangtua, Pendidikan Indonesia dengan kurikulum yang berganti-ganti, masih berkutat mengejar kuantitas, sehingga kualitas pendidikan Indonesia secara umum masih kedodoran
Kalau saya sebagai pegawai di Kemdikbud terutama bagian "basah" yang mengatur siapa penerima bansos, pendidikan di Indonesia sangat sangat sedap. Bayangkan 20% APBN diguyur untuk Dana Pendidikan, entah apapun itu, ujungnya proyek bansos yang penuh dengan tanda tanya besar dalam proses seleksinya. Jadi jujur aja, yang bisa menikmati guyuran dana pendidikan nasional yang melimpah ruah adalah para pegawai Kemdikbud dan sekitarnya. Maksudnya Kepala Sekolah atau Rektor yang bisa "bekerja sama" untuk "menyukseskan" pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia.
Urusan yang terakhir jadi bikin perut mulas karena USB eh UPS di beberapa sekolah di DKI Jakarta beneran cuma jadi sarang rampok baik DPRD maupun oknum Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Oknum (pegawai) Walikota. Ngomong-ngomong jadi nggak sabar nih, nunggu finalnya, antara DPRD dengan Gubernur DKI Jakarta.
Kembali Mempersoalkan Kebangkitan (Pendidikan) Nasional
Terlepas dari begitu banyak persoalan yang membelit, saya bisa tersenyum karena konon Kemdikbud dan Kominfo ada rencana untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, terutama di daerah terluar, terpencil Indonesia.
Konon kabarnya (karena belum real) anak-anak Indonesia akan diberi fasilitas ipad yang berisi materi pelajaran yang didesain dengan interaktif. Jadi anak lebih banyak belajar sendiri dan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Â Hebat. Moga-moga ini jadi solusi, jika selama ini bolak balik dikabarkan dari ratusan ribu guru, cuma 25% yang dinilai bagus dan itu juga mayoritas di ibukota negara dan propinsi.
Sebenarnya konsep itu harusnya dikembangkan dari dulu supaya anak-anak Indonesia menjadi manusia pembelajar dan bukan manusia pencatat apalagi pembeo guru-guru. Iya kalau gurunya berkualitas, kalau ternyata gurunya memble, inilah hasilnya.
http://news.okezone.com/read/2014/05/13/373/984246/rangking-mutu-pendidikan-ri-di-dunia-paling-jeblok
Di mata dunia, mutu pendidikan Indonesia ternyata masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya di Asia Tenggara.
Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, Selasa (13/5/2014), sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi bontot alias akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia.
Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking 2014 versus 2012, Indonesia diberi nilai -1,71.
Sedangkan untuk nilai pencapaian pendidikan yang dimiliki Indonesia, diberi skor -2,11. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk. Di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan rangking terbawah yang berada di atas Indonesia.
Sekadar informasi, pada 2012, mutu pendidikan Indonesia juga berada di posisi terbawah, bersama dengan Meksiko dan Brasil. Indeks ini pertama kali diterbitkan pada November 2012, dan diperbarui dengan data terbaru pada Januari 2014.
Indeks 2014 mengikuti metodologi yang sama dengan indeks aslinya. Di mana tidak ada negara yang ditambahkan atau dihapus, baik itu untuk indikator, bobot, dan sumbernya yang tetap sama.
Sedih kan?
Jadi saya mengajak para Kompasianer untuk berperan serta, sesuai kemampuan masing-masing.
Yang masih kuliah dan sekolah, ya belajar yang serius, jangan mau nyontek lagi, jangan beli bocoran UN lagi.
Buat yang sudah tidak sekolah (maksudnya sudah lulus) bisa berperan dengan uangmu untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, misalnya dengan memberi beasiswa bagi anak yang tidak mampu tapi cerdas
Sedang untuk yang putus sekolah, jangan jadi putus asa. Coba hubungi Kompasianer yang punya akses untuk beasiswa atau malah punya dana pribadi untuk jadi Kakak Asuh atau ikut program Adikku Sayang. Atau minimal bisa deh hubungi saya untuk bantu urun rembug menyelesaikan pendidikan wajib belajar 12 tahun dengan sistem Homeschooling.
Jadi mari kita berperan, jangan jadi penonton saja. Indonesia membutuhkan Anda menjadi Pembuka Jalan menuju Indonesia yang lebih baik, khususnya dalam bidang peningkatan kualitas pendidikan.