Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Memperingati Hari Kesaktian Pancasila dan Keganasan PKI pada Gerakan 30 September

1 Oktober 2024   09:43 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:25 35 0
Gerakan 30 September (G30S/PKI) adalah peristiwa yang terjadi pada 30 September hingga 1 Oktober 1965 di Indonesia. Peristiwa ini adalah sebuah upaya kudeta yang melibatkan sekelompok perwira militer yang mengklaim ingin melindungi Presiden Sukarno dari ancaman Dewan Jenderal, sebuah kelompok dalam militer yang dikabarkan akan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Namun, kudeta ini berakhir dengan pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Dalam konteks ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) sering kali dianggap berperan, meskipun keterlibatan PKI dalam peristiwa tersebut masih diperdebatkan.

Berikut ini adalah kronologi dan konteks sejarah terkait G30S/PKI:

Latar Belakang Politik
Situasi Politik Nasional: Pada awal 1960-an, Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno dengan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Sukarno berusaha menggabungkan kekuatan nasionalis, Islam, dan komunis dalam satu koalisi politik untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, hubungan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin tegang. TNI, terutama Angkatan Darat, memandang PKI sebagai ancaman, sementara Sukarno mendukung PKI sebagai kekuatan politik utama dalam pemerintahannya.

Kekuatan PKI: Pada tahun 1965, PKI adalah partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. PKI semakin kuat dan memiliki banyak pendukung, terutama di kalangan buruh, petani, dan kaum intelektual. Namun, pertumbuhan PKI menimbulkan kekhawatiran di kalangan TNI, terutama Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani dan beberapa perwira tinggi lainnya.

Kabar Dewan Jenderal: Sebuah rumor beredar bahwa Dewan Jenderal, sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat, berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno. Hal ini menjadi dasar pembenaran bagi kelompok yang terlibat dalam G30S untuk melakukan aksi mereka.

Peristiwa G30S
Penculikan dan Pembunuhan Perwira Tinggi: Pada malam 30 September 1965, sekelompok pasukan yang mengatasnamakan Gerakan 30 September menculik tujuh perwira tinggi Angkatan Darat. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre Tendean. Para jenderal ini dibawa ke Lubang Buaya, sebuah daerah di pinggiran Jakarta, di mana sebagian besar dari mereka dibunuh dan jasad mereka dimasukkan ke dalam sumur.

Kudeta Gagal: Pada pagi 1 Oktober 1965, kelompok Gerakan 30 September mengumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan dan membentuk Dewan Revolusi. Mereka mengklaim bahwa langkah ini diambil untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal. Namun, kelompok ini gagal mendapatkan dukungan luas, dan operasi mereka dengan cepat dihentikan oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Kontra-Kudeta Soeharto: Soeharto segera bergerak untuk mengambil alih kendali. Pada 1 Oktober, dia memobilisasi pasukan dan merebut kembali Jakarta dari kelompok G30S. Pada 2 Oktober, jasad para jenderal yang dibunuh ditemukan di Lubang Buaya. Gerakan 30 September berhasil ditumpas, dan para pemimpinnya, termasuk Letnan Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, dan Brigadir Jenderal Supardjo, ditangkap dan diadili.

Dampak dan Akibat
Tuduhan terhadap PKI: Setelah peristiwa ini, PKI dituduh sebagai dalang di balik G30S, meskipun keterlibatan langsung mereka dalam peristiwa ini masih menjadi perdebatan. Soeharto dan Angkatan Darat menyatakan bahwa PKI telah berusaha melakukan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno dan mendirikan negara komunis. Tuduhan ini menyebabkan gelombang kekerasan besar-besaran di Indonesia.

Pembantaian Anti-Komunis: Sebagai reaksi terhadap kudeta yang gagal ini, terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Diperkirakan antara 500.000 hingga 1 juta orang tewas dalam pembantaian ini, yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa dan Bali. Banyak orang ditangkap, diadili, dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang adil.

Kejatuhan Sukarno: Setelah G30S, pengaruh Sukarno semakin melemah, terutama setelah Soeharto mengambil alih kendali Angkatan Darat dan kekuasaan politik di Indonesia. Pada 1966, Sukarno terpaksa menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang memberikan Soeharto kekuasaan untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban. Ini menjadi titik awal transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Orde Baru: Pada 1967, Soeharto secara resmi mengambil alih posisi sebagai Pejabat Presiden, dan pada 1968 ia diangkat sebagai Presiden Indonesia secara penuh, mengakhiri era Sukarno dan memulai era Orde Baru yang didominasi oleh Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Di bawah Orde Baru, PKI dilarang, dan pemerintah Soeharto melancarkan propaganda intensif yang menuduh PKI sebagai dalang utama G30S.

Kontroversi dan Perdebatan
Sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998, peristiwa G30S terus menjadi subjek perdebatan. Beberapa sejarawan dan peneliti meragukan versi resmi yang menyatakan bahwa PKI adalah dalang utama di balik gerakan ini. Ada juga teori yang menyatakan bahwa Soeharto mungkin telah mengetahui atau bahkan memanfaatkan situasi ini untuk merebut kekuasaan. Namun, sampai saat ini, misteri seputar peristiwa tersebut belum sepenuhnya terungkap.

Demikianlah sejarah singkat mengenai peristiwa G30S/PKI yang merupakan salah satu titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia.


Pesan moral dari peristiwa ini adalah :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun