Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Betulkah Pak JK Yang Lebih Bernafsu Ingin Menaikkan Harga BBM?

12 November 2014   16:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:59 145 1
Oleh Ibnu Purna

Di koran Rakyat Merdeka (10/11/2014, hal.2) Effendi Simbolon, Ketua DPP PDI Perjuangan secara lantang menyuarakan penolakan kenaikan harga BBM. Secara politik pernyataan ini sungguh mengherankan. Bagaimana tidak? PDIP yang dalam pemerintahan Jokowi-JK ini telah menjadi partai pemerintah, tiba-tiba masih bersikap seolah-olah sebagai oposisi seperti di era pemerintahan SBY-Boediono. Secara logika seharusnya Effendi Simbolon mendukung rencana kenaikan BBM, bukan menolaknya. Apalagi kalau penolakan itu diberitakan secara luas lewat media massa. Selain Effendi, ada juga anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka dan Walikota Solo Rudy yang menyuarakan hal yang sama. Bahkan Rudy secara terbuka mengatakan siap disanksi karena tolak rencana Jokowi naikkan BBM. (Simak pernyataannya http://news.detik.com/read/2014/11/11/142654/2745078/10/walikota-solo-siap-disanksi-karena-tolak-rencana-jokowi-naikkan-bbm?n991103605).

Mengapa Effendi Simbolon dan kader PDIP lainnya menolak rencana kenaikan BBM. Menurut Effendi, selama 10 tahun ini PDIP selalu kritis menuntut agar tidak menaikkan BBM dan konsisten dalam membela kepentingan rakyat. Seharusnya buku putih menjadi acuan untuk diimplementasikan terlebih dahulu. Pendapat senada juga diungkapkan oleh kader banteng lainnya (Rakyat Merdeka, 10/11/14, hal.6). Misalnya anggota PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan kader-kader banteng yang mengkritik kenaikan BBM bukan orang-orang mbalelo. Apalagi, menurut Hendrawan, sampai sekarang belum ada secara tertulis perintah DPP PDIP kepada Fraksi PDIP di DPR untuk mendukung kenaikan BBM. Menurut Hendrawan ada tiga hal yang harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum menaikkan harga BBM. Pertama, berantas mafia migas; kedua, jalankan program diversifikasi  dan konversi sumber energi; dan ketiga, jalankan program perlindungan kesejahteraan sosial dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Kembali ke Effendi Simbolon, yang menarik adalah pernyataannya bahwa yang lebih bernafsu ingin menaikkan harga BBM adalah Wapres Jusuf Kalla. Tulisan ini tentunya tidak dimaksudkan untuk mengkalirifikasi pernyataan tersebut, karena ini merupakan pembahasan dan kesepakatan diantara Jokowi dan JK yang hanya beliau berdua saja yang tahu. Tapi kalau disimak dari pernyataan Presiden Jokowi, sebenarnya kita bisa pertanyakan apakah benar pernyataan Effendi Simbolon diatas.

Di website setkab.go.id, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pendapatnya tentang besarnya alokasi anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Saat bertemu dengan 100 pemimpin perusahaan terkemuka dalam Kompas 100 CEO Forum 2014 di Hotel Four Seasons, Jakarta, Jumat (7/11) pagi, Presiden mengatakan, dalam 5 tahun pemerintah sebelumnya selalu terjebak dalam pemborosan melalui subsidi BBM. Ia menyebutkan, dalam 5 tahun terakhir, subsisi BBM mencapai Rp 714 triliun. Sementara anggaran kesehatan pada kurun yang sama hanya Rp 220 triliun, dan anggaran untuk infrastruktur Rp 574 triliun. “Sangat boros dan setiap hari kita bakar, dan kita tidak sadar kita bakar. Boros,” tegas Jokowi.

Oleh sebab itu, lanjut Presiden, keborosan seperti ini harus dihentikan. APBN harus diarahkan pada yang produktif bukan yang konsumtif.  “Kita tahu sekarang terjadi defisit. Tapi bisa kita selesaikan kalau kita atasi bersama,” tambahnya. Simak penjelasan lebih lengkap' http://setkab.go.id/soal-pengalihan-subsidi-presiden-jokowi-keborosan-bbm-harus-dihentikan/

Presiden Jokowi bukannya tidak tahu bahwa tindakannya menaikkan harga BBM akan menurunkan popularitasnya di mata rakyat.  Tapi presiden berpendapat, kita harus berani menghentikan itu meskipun ia tahu yang namanya pengalihan subsidi nanti menjadikan dirinya pasti didemo. Belum dinaikkan saja, ia  sudah didemo sewaktu berkunjung ke Makassar beberapa waktu yang lalu.

Diakui, Presiden Jokowi bahwa keputusan politik seperti ini (mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif) pasti ada resiko-resiko yang harus ia tanggung yaitu popularitasnya akan menurun di mata rakyat. Tapi itulah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai Presiden, pemimpin tertinggi di Indonesia. Simak http://setkab.go.id/alihkan-subsidi-bbm-ke-sektor-produktif-presiden-jokowi-siap-tidak-populer/

Dari pernyataan Presiden Jokowi diatas, jelas disadari bahwa kenaikan BBM harus segera dilakukan agar subsidi BBM tidak akan semakin membengkak yang bisa berdampak pada difisitnya keuangan negara. Dan Presiden pun menyadari bahwa popularitas nya akan menurun di mata rakyat karena tindakannya mencabut atau mengurangi subsidi BBM. Namun itulah resiko yang harus ditanggung sebagai Presiden. Tapi percayalah dalam beberapa tahun kedepan, kebijakan menaikkan BBM itu justru akan meningkatkan kesejateraan rakyat Indonesia. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dialihkan dari sektor konsumtif ke bagian produktif, dari yang boros ke tempat yang produktif. Misalnya ke irigasi, ke bendungan, subsidi pupul untuk petani, subsidi benih untuk petani, mesin kapal untuk nelayan, alat pendingin untuk nelayan, tambahan modal untuk usaha-usaha mikro, usaha kecil yang ada di desa, sesuai penjelasan Presiden Jokowi.

Jadi persoalannya bukan siapa yang lebih bernafsu menaikkan harga BBM. Tapi apakah keputusan tersebut sudah tepat dengan perhitungan yang matang, karena tanggung jawab dan resiko yang ditanggung bukan di Wapres, tapi ada di Presiden. Kedepannya, semoga kebijakan BBM ini akan bermanfaat bagi masyarakat luas.  (Tulisan lainnya, simak ibnupurna.id)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun