Dulu, jika kita berniat menyusun sebuah karya tulis ilmiah dan perlu mencari sumber referensi, kita harus datang ke perpustakaan sekolah atau kampus. Mencatat keterangan dari buku, makalah, kliping, skripsi dan karya tulis lainnya; atau meminjam buku untuk menyalinnya di rumah.
Bahkan, ketika mendatangi sumber referensi seorang ahli atau pakar, kita mencatat dan merekam pembicaraannya. Setelah sumber referensi terkumpul, kita harus menulis ulang (re-write) dan mengetik kembali (re-type) apa yang kita kutip tadi secara teliti. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf.
Tapi sekarang adalah era digital. Masa keemasan internet yang menyediakan banyak mesin pencari (engine search). Cukup ketikkan kata kunci (key words) di Google, Bing, atau Ask, dan bim salabim… informasi tersedia hanya dalam hitungan sepersekian detik saja. Istilah “copy” dan “paste” atau copas pun menjadi sangat populer. Ketika kita membuka sebuah website, sedikit dari kita yang mengetik ulang keterangan-keterangan dalam website tersebut. Kita terbiasa menyalin (copy), kemudian menempel (paste) di lembar dokumen baru.
Kemudahan yang membuai
Sepintas copas menjadi “berkah” bagi kita, karena dapat mempersingkat proses pencarian dan penggandaan informasi. Tetapi lihatlah, ini membuat kita terlena. Kita menjadi malas mencatat, mengetik, dan menjadi tidak kreatif.
Ini pengalaman pribadi ketika saya menugaskan anak didik saya membuat makalah tentang gempa bumi. Saya sebutkan pilihan sumber referensinya bisa dari buku di perpustakaan atau melalui internet. Hasilnya? 100 % sumber referensi mereka berasal dari internet. 70 % makalah mirip antara satu dengan lainnya. Bahkan, setelah saya telusuri lebih jauh, beberapa paragraf dalam makalah anak didik saya identik dengan makalah lain dari kelompok siswa sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di Jawa Tengah.
Ketika dievaluasi, mereka mengaku melakukan copas dari website sekolah tersebut. Saat saya tanya mengapa memilih internet sebagai sumber referensi, mereka bilang mudah, cepat, dan malas mengetik ulang. “Tinggal copy-paste,” begitu kata mereka.
Tetapi, apalah artinya cepat jika hasil plagiat? Dalam jangka panjang, kecenderungan “tinggal copy-paste” akan lebih banyak memberi mudharat ketimbang manfaat.
Apa mudharat-nya? Pertama, proses copas dapat menumpulkan daya kreativitas. Ketika menyusun sebuah karya tulis ilmiah, mereka yang terbiasa copas akan mengalami kesulitan merangkai kata, kalimat, dan paragraf untuk menuangkan ide.
Kebiasaan copas membuat karya tulis menjadi tidak utuh. Susunannya melompat-lompat, dan perpindahan (transisi) antar kalimat dan paragraf terasa tidak halus. Ide dalam paragraf pun kadangkala tidak nyambung antara satu paragraf dengan paragraf lain. Ini karena ketika melakukan copas kita cenderung mengutipnya secara parsial. Asalkan ada kata-kata atau kalimat yang mirip, kita langsung meng-copy-nya tanpa lagi peduli apakah yang disalin itu sesuai atau tidak dengan ide dasar karya tulis yang sedang disusun.
Kedua, kebiasaan copas dapat menimbulkan sifat malas. Ya malas membaca, malas mencatat, mengetik, dan malas mengedit tulisan. Dan ketiga, copas membuat kita tak lagi kritis terhadap sumber referensi. Apakah sumber kutipan itu berasal dari website yang dapat dipercaya atau tidak, sumbernya dapat dipertanggung-jawabkan atau tidak, ini tak banyak lagi kita persoalkan. Atas nama kecepatan dan kemudahan, kadangkala kita menjadi gelap mata.
Guru: digugu-ditiru
Parahnya lagi ternyata kebiasaan copas tak hanya menghinggapi pelajar di sekolah. Para gurunya pun sama. Bapak dan ibu guru yang terhormat itu melakukan copas perangkat mengajar, seperti RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran), silabus, prota (program tahunan), dan promes (program semester) dari sekolah lain di pelosok Indonesia yang telah meng-upload softcopy perangkat mengajar itu di internet.
Padahal jelas tertulis di perangkat itu bahwa kurikulum yang dipakai adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Artinya, kurikulum dikembangkan oleh sekolah. Kurikulum dan perangkatnya seharusnya bersifat unik. Sekolah mengembangkan sendiri RPP, silabus, prota dan promesnya sesuai dengan kondisi riil masing-masing sekolah.
Tetapi faktanya tidak. Di banyak sekolah, seringkali dijumpai kepala bagian kurikulum yang tugasnya hanya menyusun jadwal mengajar, jadwal pelajaran, dan kalender akademik yang formatnya tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Tidak ada inovasi untuk mengembangkan kurikulum demi mencetak pelajar unggulan.
Mandulnya inovasi inilah yang menjadi muara kebiasaan copy-paste. Apakah pelajar mendapatkan kebiasaan ini dari guru mereka, atau sebaliknya? Bisa ya, bisa juga tidak. Satu hal yang pasti adalah bahwa guru merupakan panutan bagi para siswa. Kebiasaan copas dapat dikurangi bila guru dapat mencontohkan dan membiasakan kepada anak didiknya untuk selalu menghasilkan karya orisinal. Bukan plagiat hasil dari copy-paste. Mungkin, dalam hal ini yang paling berperan adalah guru bidang studi Bahasa Indonesia.
Persoalan sesederhana copas adalah fakta generasi penerus kita hari ini, dan juga membelit dunia pendidikan kita. Maka, selama ini masih terjadi, jangan terlalu berharap akan muncul generasi dengan ide cemerlang yang mampu membawa perubahan dan memberi manfaat bagi orang di sekitarnya. (*)