Satu, dua, tiga, empat bus TransJakarta sudah lewat. Aku akhirnya naik bus kelima. Tak sampai sepuluh menit, tiba-tiba bus berhenti. Ternyata ada pengalihan jalan. Ada demo buruh di depan gedung Dewan. Galau….
Sudah pukul setengah delapan, aku masih di dalam bus TransJakarta. Sisa waktuku tinggal setengah jam. Kucoba menikmati penggalan waktu ini. All is well, kataku dalam hati. Tapi tiba-tiba, dan lagi-lagi bus berhenti. Katanya kali ini karena kehabisan gas, gara-gara melewati rute yang lebih panjang akibat pengalihan jalan. Galau….
Semua penumpang berhamburan. Sama seperti diriku yang tak ingin terlambat, mereka mencari moda alternatif. Pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Waktuku tersisa lima belas menit. Kuputuskan naik ojek. Si Abang kusuruh cepat, sehingga ia lupa mempersiapkan helm. Kami pun melesat. Tapi, di salah satu perempatan jalan, sesosok polantas gendut ujug-ujug datang. Si Abang kena tilang. Ia minta ongkos tambahan. Galau….
Tiba di kantor pukul delapan lewat sepuluh menit tiga puluh detik. Ada waktu tiga puluh detik lagi sebelum melewati batas toleransi keterlambatan karyawan. Aku berlari mengejar tiga puluh detikku. Tepat di pintu masuk kantor, seorang sahabat mengajak bicara. Aku meladeninya dengan tetap melangkah menuju finger print. Ternyata, tiga puluh detikku sudah berlalu lima detik yang lalu. Pukul delapan lewat sebelas menit enam detik jempolku akhirnya menempel di permukaan sensor. Aku kehilangan batas toleransi keterlambatanku. Ini berarti akan ada potongan di gajiku bulan depan. Galau….
Tampangku sudah tak jelas. Rambutku acak-acakan. Mataku merah sayu. Langkahku gontai kelelahan. Mengejar waktu yang tak kesampaian. Di meja, tumpukan dokumen setinggi tiga puluh senti siap di-entry. Deadline-nya pukul sebelas siang ini. Galau…. (*)