Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Mahasiswa "Idiot" dan Pak Dosen

4 Agustus 2022   18:35 Diperbarui: 4 Agustus 2022   18:50 645 5
Bunyi ponsel membuat Arman membuka mata dan tersentak seperti orang sedang melihat hantu. Pagi itu, ia lihat jam tangannya, ternyata sudah jam 08.15 Wib. Ia tidur di Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa fakultasnya.

Arman tersentak karena ia baru sadar bahwa sudah terlambat masuk kuliah. Pagi itu mereka harus mempersentasikan tugas makalah bersama kawan-kawan satu kelompok.

"Hancur..., aduhhhh..., aku terlambat kuliah ini," ucapnya ketika sudah duduk dengan setengah nyawa.

Tempat ia tidur tidak jauh dari ruang kuliah yang seharusnya ia masuki. Sekretariat BEM fakultasnya berada di Lantai 2 sedangkan ruang kuliahnya di Lantai 3. Hanya melewati beberapa anak tangga ia sudah sampai di depan ruangan. Tanpa, menyiram wajahnya dan hanya merapikan rambutnya, ia pun berdiri, dan pergi.

"Astagaaa..., sepatu di bawa pula sama anak-anak." Ia terus mencari di balik pintu, di bawah meja dan di setiap sudut, tetap juga tidak menemukan sepatunya. Di dekat pintu hanya ada dua sepasang sendal. Satu pasang sendal jepit dan sepasang lagi sendal gunung. Maksudnya sendal gunung adalah sendal yang sering digunakan oleh anak-anak pecinta alam saat mendaki gunung.

Dengan terpaksa ia pun memakai sendal gunung itu. Arman memakai celana panjang jeans yang sedikit koyak di setiap lututnya. Ia memakai baju kaos berkerah warna merah. Dengan tas kecilnya, ia keluar kemudian naik ke atas.
"Tok tok tok." Arman mengetuk pintu yang sudah terbuka saat sudah sampai di ruang kuliahnya.

Seluruh mahasiswa yang di ruangan, teman-teman satu kelompoknya dan dosen yang ada di dalam ruangan itu melihat ke sumber suara ketukan. Arman berdiri dengan melemparkan senyuman kepada seluruh mahasiswa dan Pak Dosen yang sedang duduk di depan seluruh mahasiswa. Sedangkan teman-teman satu kelompoknya sedang mempersentasikan tugas makalah mereka di depan seluruh mahasiswa yang hadir.

Wajah kusutnya terlihat jelas karena tidak disentuh air barang sedikitpun. Rambutnya hanya disisir dengan jarinya. Sedangkan matanya masih agak terlihat merah berair. Sedikit terlihat gumpalan warna putih kekuning-kuningan.

Pak Dosen yang masuk waktu itu diam, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada teman-teman Arman. Pak Dosen itu belum mempersilahkan Arman masuk ke dalam ruangan.

"Tok tok tok..." Kembali terdengar suara pintu diketuk. Lebih terdengar keras dari ketukan pertama.

"Selamat pagi, Pak," Arman mengucapkan salam pembuka.

Pak Dosen itu kembali melihat ke arahnya, dan teman-temannya yang sedang mempersentasikan makalah menghentikan pembahasan apa yang mereka susun di makalah tersebut. Ada salah satu temannya juga yang tersenyum saat melihat Arman di pintu.

"Kamu sudah terlambat," kata Pak Dosen pada Arman.

"Iya, Pak. Saya tau, Pak," jawab Arman.

"Kamu tau 'kan, kita masuk jam berapa?"

"Jam delapan pas, Pak," jawab Arman. "Tapi, 'kan saya terlambat sekitar lima belas menit, Pak." Arman membela diri agar dibolehkan masuk.

"Toleransi waktu keterlambatan masukkan sudah saya berikan," kata dosen itu pada Arman. "Berapa menit saya berikan?" Ia bertanya pada mahasiswa yang ada di ruangan itu.

"Sepuluh menit, Pak," beberapa mahasiswa menjawab dengan serentak.

"Nah, dengar 'kan kamu," katanya dosen itu pada Arman.

"Dengar, Pak," jawab Arman. "Tadi saya terlambat karena memperbanyak kopian tugas kami, Pak. Makanya saya terlambat." Arman mulai mengarang alasan.

"Benar itu, Eko?" Pak Dosen itu bertanya pada salah satu teman Arman yang sedang mempersentasikan makalah.

Eko terkejut saat dirinya dilibatkan. Pak Dosen memandangi Eko, sedangkan Eko melihat Pak Dosen itu, dan kadang juga melihat ke arah Arman. Saat itu, Arman membuat kode bahasa tubuh supaya Eko membelanya.

"Iya, Pak. Tadi waktu kami memperbanyak tugas ini, Arman pergi bentar ke kamar mandi, Pak. Mungkin ia sakit perut, makanya terlambat masuk ke ruangan, Pak." Eko membuat memori penjelasan dan memori pembelaan agar Arman dapat masuk.

"Baiklah, sekarang kamu saya beri toleransi. Jangan mentang-mentang kamu Ketua Senat Mahasiswa fakultas ini, kamu bisa suka-suka hati."

Arman pun masuk ke dalam ruangan. Melihat teman-temannya sudah duduk di depan mahasiswa, ia pun berinisiatif mengambil bangkunya untuk ikut juga bergabung bersama teman-temannya di depan.

Belum sempat ia duduk di bangku yang baru di angkatnya, Pak Dosen pun angkat bicara.

"Kamu kenapa pakai sendal?" tanya Pak Dosen.

"Tadi..."

"Ingat ya, semuanya. Ketika saya masuk, tidak boleh ada yang pakai sendal," kata Pak Dosen itu kepada seluruh mahasiswa yang ada di ruangan itu. "Yang memakai sendal akan saya keluarkan. Dan kamu, Arman. Kamu harus keluar." Pak Dosen itu mengeluarkan Arman.

Saat itu Arman ingin protes, karena aturan itu baru diberlakukan. Tapi, karena ia telah membuat kesalahan di awal, yaitu terlambat, ia pun hanya diam. Dengan malu, ia pun keluar dari ruangan.

Dalam hati sempat juga ia bertanya, "Apa hubungannya memakai sendal dengan belajar?"

***

Setelah seminggu kejadian itu berlalu, Pak Dosen itu masuk lagi ke dalam ruangan mereka memberikan materi kuliah. Setiap sekali seminggu memang Pak Dosen itu masuk.

Kali itu Arman tidak terlambat masuk ke ruang kuliah. Ia pun lebih dahulu masuk ke dalam ruangan sebelum Pak Dosen itu masuk. Arman duduk paling belakang di antara mahasiswa. Duduk di depan baginya sangat membosankan karena dosen yang masuk itu lebih banyak memberikan cerita pengalamannya daripada materi kuliah.

Sebagai aktivis mahasiswa, malam adalah waktu yang tepat untuk berdiskusi dan membicarakan banyak hal. Dan malamnya, Arman begadang bersama teman-temannya untuk membicarakan gerakan yang akan dilakukan menuntut kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) setelah ditetapkan pemerintah.

Ketika Pak Dosen sedang menceritakan pengalaman hidupnya hampir memakan waktu satu jam, bukan materi kuliah. Arman tertidur di bangkunya. Saat Pak Dosen itu mengetahui Arman tertidur, dia langsung memanggil nama Arman.

Pak Dosen itu memanggilnya ke depan. Arman tidak mendengarkan bahwa namanya dipanggil.

"Arman...!"

Salah satu mahasiswa yang duduk di sampingnya membangunkan.

"Man....Man...., kau dipanggil," kata temannya.

"Iya, Pak," kata Arman dengan suara berat karena baru bangun.

"Kamu, Bapak tengok sering sepele dengan saya," kata Pak Dosen.

"Tidak ada maksud saya begitu, Pak."

"Ke sini, kamu," perintah Pak Dosen untuk mendekati mejanya.

Arman awalnya menolak dan menjelaskan kembali bahwa ia tertidur dengan tidak sengaja. Dan tidak ada maksud tidak menghormati Pak Dosen itu.

"Sekarang coba kamu jelaskan materi yang bapak sampaikan kepada teman-temanmu," perintah Pak Dosen itu lagi seperti guru-guru SD menyuruh muridnya menjelaskan di depan murid-murid yang lain.

"Di sini saja, Pak."
"Kamu dari depan menyampaikannya. Pakai Mikrofon ini, supaya teman-teman kamu dengar."

Arman dengan terpaksa maju ke depan. Saat ia berjalan ke depan, Pak Dosen itu melihat Arman tidak memakai sepatu dan tidak juga memakai sendal. Artinya, Arman kaki ayam.

"Kenapa kamu kaki ayam?" tanya Pak Dosen.

"Kaki saya, kaki manusia, Pak."

"Iya, saya tahu. Maksud saya kenapa kamu tidak memakai sepatu?"

"Minggu yang lalu, bapak mengatakan bahwa tidak boleh pakai sendal dan bapak melarang masuk kalau pakai sendal.

Nah, sekarang saya tidak memakai sendal, Pak," jawab Arman. Sontak para mahasiswa yang ada di ruangan itu tertawa.

Sebenarnya Arman memakai sendal saat kuliah, tapi sebelum Arman masuk ke raungan, ia membuka sendalnya dan memasukkan ke dalam tasnya.

"Bodoh sekali, Kamu. Idiot..." kata Pak Dosen itu dengan suara keras.

Arman tidak terima dikatakan bodoh dan idiot. Ia pun protes dan mengulangi kata-katanya tadi. Pak Dosen tetap tidak terima dan masih menyalahkan Arman. "Sekarang begini, Pak. Saya belajar di sini, yang bertemu itu, otak saya dengan otak bapak, atau kaki saya bertemu dengan otak bapak?" tanya Arman sambil menunjuk kepala dan kakinya.

Tidak terima dengan perkataan itu, Pak Dosen menyuruh Arman keluar dari ruangan. Para mahasiswa terdiam ketika terjadi perdebatan antara Arman dengan dosen mereka.

"Kamu keluar. Tak ada sopan!" kata Pak Dosen itu.

"Di mana letak ketidak-sopanan saya, Pak?"

"Keluar..., aku tidak peduli kau di sini sebagai Ketua Senat Mahasiswa. Aku tidak takut," suara Pak Dosen itu lebih keras.

"Saya tidak ada membawa-bawa jabatan itu. Saya bertanya di mana letak ketidak-sopanan saya. 'Kan, Bapak melarang kalau pakai sendal, bukan melarang kalau kaki ayam," kata Arman.

"Kau keluar atau aku yang keluar?" tanya Pak Dosen itu lagi dengan kasar.

"Tidak ada yang perlu keluar, Pak. Saya di sini ingin belajar," ucap Arman dengan santai.

Karena Arman tidak ingin keluar, tiba-tiba saja Pak Dosen itu keluar dari ruangan tanpa berkata apa-apa. Mahasiswa yang menyaksikan itu terdiam dan tidak mau ikut terlibat. Apa lagi mereka tahu, bahwa Arman adalah mahasiswa yang sangat kritis dan akan selalu mengkritisi apabila ada hal-hal yang ganjil di kampusnya, terkhususnya di fakultas.

Beberapa menit, tidak sampai setengah jam, cerita itu menyebar di ruang birokrasi fakultasnya. Ternyata, Pak Dosen itu melaporkannya kepada petinggi birokrasi fakultas bahwa ada seorang mahasiswa tidak sopan padanya.

Pimpinan fakultas memanggil Arman dan Pak Dosen tersebut untuk didamaikan. Saat dilakukan pertemuan perdamaian, di ruang Dekan, Arman menjelaskan dan tidak mau dikatakan idiot dan bodoh. Arman juga mengkritisi cara-cara mengajar dosen tersebut dengan lebih banyak menceritakan kisah hidupnya di banding materi kuliah.

Tidak terima di kritik oleh mahasiswa, maka perdamaian antara Arman dan Pak Dosen tersebut tidak tercapai. Walaupun Arman sudah meminta maaf, tetap saja Pak Dosen tersebut tidak mau dikritik. Ia terlalu membawa perasaannya dalam ranah keilmuan. Alhasil, nilai mata kuliah Arman yang keluar dari Pak Dosen tersebut sangat buruk. Nilainya sangat buruk karena unsur perasaan yang tidak mau dikritik atau adanya sedikit perlawanan dari mahasiswa, Arman. Jika, dosen itu obyektif, Arman layak mendapatkan nilai yang baik.

Arman terpaksa harus mengulangi mata kuliah tersebut dengan dosen yang berbeda, jika ingin merubahnya. Bisa juga dirubah dengan selembar kertas, tapi itu bukan pilihan yang bijak menurut Arman. Nilai kuliah harus sesuai dengan akumulasi otak bukan akumulasi perasaan dan kemarahan.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun