Angin laut tak henti berhembus menyibak rambut lurusnya yang panjang. Wajahnya menghadap jauh ke depan, menembus pulau-pulau yang dilewati. Detik demi detik terus mendorong menuju menit. Menit demi menit berevolusi menjadi jam, Amelia terus berdiri di atas kesunyiannya. Tiada kata yang terucap dari mulutnya. Di pikiran dan hatinya, suara-suara terus berkecamuk, beradu debat, bersahut-sahut. Hatinya bagai luka yang teriris-iris oleh sebilah pisau silet kemudian disiram air garam bercampur air jeruk.
"Bajingan kau Alex. Setelah semuanya kau dapatkan, dengan secepat itu pun kau pergi," kata Amelia sambil memegangi
kepalanya. Terlihat air membeku di matanya.
"Aku gak bisa melanjutkan hubungan ini, Lia," ucap Alex mengulangi dengan santai serasa tidak ada beban memutuskan hubungan yang selama ini mereka ikat.
"Bajingan kau, ya. Habis manis sepah kau buang, hah? Selama ini kau nikmati apa yang kupunya, setelah semuanya habis kau mau pergi. Bahkan..." sebentar ia mengatur nafas, "bahkan kau telah menikmati tubuhku. Dengan semudah ini kau katakan tidak lagi mau menjalani hubungan kita, hah?" suaranya kembali menjadi perhatian orang-orang di cafe itu.
"Lia..." kata Alex sambil memegangi tangan Amelia untuk menenangkan, hanya basa-basi saja.
Amelia berdiri. Kakinya terbentur dengan kaki meja. Sontak saja meja bergoyang dan menghasilkan bunyi dari gesekan gelas dan piring yang beradu. Suara itu menjadi pertanda kegaduhan. Suara itu pertanda perang meletus. Amelia melepaskan tangannya dari pegangan Alex dengan hentakan. Orang-orang di sana bagai sedang menonton film drama. Alex bukan main malunya. Sedangkan Amelia sudah tidak perduli lagi dengan sikapnya. Sudah satu bulan lebih ia berlatih menahan malu karena Ayahnya ditangkap karena kasus korupsi. Harta kekayaan sudah habis disita. Ia pun sekarang diputuskan oleh Alex, setelah musibah itu menimpa Amelia.
"Cowok bajingan! Cowok matre, mata duitan," satu gelas jus memenuhi wajah Alex, "bo..bo...bodohnya aku selama ini mempercayaimu." Amelia pun pergi sambil berlari. Air yang membeku itu sekarang telah mencair membasahi wajahnya. Mengalir tak terbendung.
Alex sendiri diam membiarkan Amelia pergi. Itulah yang diinginkannya. Ia tidak peduli siapa-siapa yang ada di cafe itu. Toh dia jarang di sana. Selama mereka berpacaran, mereka lebih sering masuk diskotik, nongkrong di cafe yang elit menggunakan uang Amelia, dan kadang tinggal bersama Amelia di apartemen yang disewa dengan uang Amelia.