inginnya mengutuk para datuk, mamak, apak, omak, yang menjual tanah kelahiran, tapi umur telah memalingkan mereka dari gemuruh dada cucu anak kemenakan berebut bahan makanan, berhuma di balik nisan
anak-anaknya menjilat buah sawit membayangkan manis kurma oleh-oleh dari mekah yang mereka lihat di rumah keluarga haji migran, sementara anin, duli, itam, sani, dengan dada terbuka dan perut membusung seolah kenyang menghirup asap pabrik sewangi roti kopi
kantor kantor kini dipenuhi orang-orang berpindah domisili, orang-orang yang seolah terpanggil membangunkan kemiskinan yang tak pandai lagi bermimpi, menyisihkan dunsanak yang tak pernah dianggap layak membangun masa depan mereka sendiri
inginnya mengutuk kepala mamak, apak, omak yang mengajaknya rela terjajah, tapi mulutnya dibungkam oleh kengkawan setanah lahir yang senang menyesap tetesan madu dari liur penguasa