Tapi, sadarkah kita bahwa bulan Ramadhan tahun ini bertepatan dengan Hari Buku Nasional? Saya yakin hanya segelintir orang saja yang menyadarinya. Maklum saja, merayakan buku tidak semeriah merayakan festival musik. Bahkan bisa jadi perayaan ulang tahun anda lebih ramai.
Hari Buku Nasional sangat erat hubungannya dengan iklim kegemaran membaca masyarakat Indonesia. Lantas apa kabar mengenai hal tersebut? Bagaimana kabar literasi Indonesia?
Saya rasa kita masih merujuk pada data yang sama. Yakni hasil survei yang dirilis berdasarkan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan pada tahun 2016 lalu. Hasilnya, minat baca Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang menjadi objek riset. Thailand mengisi posisi ke-59, sedangkan posisi ke-61 menjadi milik Bostwana.
Sebenarnya, tanpa merujuk pada data pun kita sudah tahu bahwa kegemaran baca buku masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Apa penyebabnya? Ada banyak. Salah satunya dikarenakan kegemaran mencintai buku tidak ditanamkan sejak usia dini.
Saya kemudian teringat dengan sabda bijak Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, menulis berarti bekerja untuk keabadian. Benar. Saya sangat setuju, jika menulis bekerja untuk keabadian, maka membaca berarti bekerja untuk peradaban dan kemajuan.
Peradaban dan kemajuan ummat manusia merupakan buah dari aktivitas keilmuan. Hasil dari pergumulan intelektualitas. Nafas dari tradisi keilmuan tersebut tak bisa dipisahkan dari kegemaran membaca masyarakatnya.
Oleh karena itu, dalam sejarah peradaban manusia, kita sering sekali mendapati bagaimana buku-buku dan perpustakaan mendapatkan porsi yang begitu istimewah. Di sana ada perpustakaan Alexandria. Sebuah perpuastakaan terbesar, yang menurut catatan sejarah pernah menyimpan 400.000 hingga 700.000 naskah.
Ada pula yang namanya Bayt al Hikmah (750-1258). Sebuah pusat kegiatan intelektual yang dibangun oleh Khalifah Harun Ar-Rashid, salah satu penguasa dinasti Abbasiyah. Di dalamnya ada perpustakaan, rumah penerjemahan, hingga universitas. Di dalamnya pula berbagai nama-nama pemikir besar bekerja dan melahirkan berbagai karya intelektual.
Namun, itu dulu. Dulu sekali. Kita tentu tak bisa berlama-lama mendekam dalam romantisme sejarah. Kata anak jaman sekarang, "Move on, dong...!" Ya, kita harus bisa bangkit. Kita perlu menyadari bahwa bagaimana pun juga kegemaran membaca buku mesti digaungkan. Sebab, kemajuan suatu peradaban atau negara sangat berbanding lurus dengan tingkat literasi maayarakatnya.
Salamat Hari Buku Nasional. Tentu tak masalah saya mengucapkannya lebih awal. Mari merayakan buku. Mari bersulang kopi.