"The direction of start in which education a man, will determine his future life."
Saya artikan : "Arah awal pendidikan seseorang, akan menentukan kehidupan masa depannya "
Wahana transformasi
Pendidikan dalam hakikatnya adalah wahana transformasi maju manusia dalam memunculkan dan memberdayakan talenta yang tersemat dalam dirinya menjadi perkerjaan-pekerjaan baik bagi kemanusiaan dan kemajuan peradaban. Seperti seorang anak yang bertalenta dalam menguasai nada dan irama didorong menjadi seorang seniman musik yang menghasilkan karya-karya luar biasa, seorang anak yang memiliki talenta fisik yang kuat dan punya daya saing yang besar didorong menjadi atlet yang berprestasi dan mampu menjadi teladan hidup sehat, seorang anak yang mahir menggunakan logika algoritma matematika didorong menjadi ilmuan yang bisa menghasilkan produk teknologi yang berguna bagi peradaban manusia, dan sebagainya. Hingga cita-cita masyarakat madani, dimana setiap manusia hidup bahagia dan sejahtera menurut bakat dan talentanya dapat dicapai melalui pendidikan.
Meletakkan pendidikan sebagai transformator talenta manusia sejatinya sejalan dengan didaktika (pengajaran) karakter dan moral. Pada tingkatan ini saya percaya karakter dan moral manusia transenden dari karakter Illahi. Oleh sebab itu seluruh proses dan progres pengembangan talenta melalui pendidikan seharusnya dikonstruksi dalam nilai kebenaran Illahi. Sehingga talenta seorang anak yang telah ditransformasi menjadi pekerjaan dimasa dewasanya adalah sebuah vokasi (panggilan) yang berasal dari Illahi. Seperti seorang anak yang bertalenta mengajar, dimasa dewasa menjadi seorang guru yang berdedikasi karena mengerti pekerjaannya sebagai guru adalah vokasi (panggilan) dari Tuhan dan ia bertanggung jawab sepenuhnya dalam profesinya sebagai guru kepada Tuhan dan mencintai profesinya. Yang lebih penting lagi, oleh sebab raison d'etre-nya sebagai guru itu ia yakini adalah vokasi, ia akan bahagia hidup dan bekerja sebagai guru. Saat pendidikan mampu mematangkan talenta menjadi profesi yang dihidupi sebagai vokasi (panggilan), saat itulah pendidikan menjelma menjadi inspirasi. Pendidikan menjadi sumbu kemajuan peradaban manusia.
Literasi diatas adalah sebuah cita-cita ideal, namun mari gali fakta-fakta yang berkembang di ruang lingkup masyarakat Indonesia sebagai konteks yang harus dicermati. Pendidikan yang diinstitusikan dalam sebuah lembaga formal yang kita namakan sekolah menjadi wadah raksasa untuk menransformasi bakat anak-anak kita menjadi sebuah profesi sekaligus vokasi. Namun celakanya, 'worldview' sekolah saat ini direduksi hanya sebagai wadah untuk memperoleh selembar kertas simbol pengakuan pernah mengecap proses didaktika masal sekaligus kertas lisensi untukmencari pekerjaan menurut kebutuhan pasar. Sekolah pun menjadi 'alat' pembunuh talenta terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Sekolah keluar dari rel cita-cita pedagogi yang diimpikan - yang ideal. Kita sebagai subjek pendidikan terjebak pada pragmatisme yang mereduksi pendidikan formal hanya sebatas 'tools' untuk mencari pekerjaan. Sehingga manusia hidup dalam kungkungan pekerjaan yang tidak 'pas' dengan bakat dan talentanya. Kita terhimpit pada dua pilihan yang sulit untuk dicapai secara bersamaan, yaitu pilihan memenuhi kebutuhan materi atau pilihan memenuhi kebutuhan fitrah kita sebagai manusia unik yang diciptakan Tuhan berdasarkan kemampuan dan talenta masing-masing.
Pada contoh sederhana seorang anak yang bertalenta menjadi seorang seniman lukis yang hebat akhirnya menjadi seorang dokter yang biasa-biasa saja setelah dalam proses sekolahnya didoktrinasi bahwa menjadi dokter adalah sebuah pilihan profesi yang menjamin masa depan secara material maupun 'prestise'. Hal ini menyebabkan orientasi hidup kita sebagai manusia cenderung bersandar pada pencapaian materialistik. Manusia kehilangan 'gairah' pada raison d'etre-nya sebagai mahluk ideal yang berakal budi, bertalenta. Gradasi nilai-nilai luhur pendidikan sebagai transformator bakat manusia terjadi diseluruh tingkatan satuan sekolah,dan yang paling disayangkan hal ini terjadi sejak bangku sekolah dasar.
Dalam hal ini, sekolah tidak lagi menjadi wadah menciptakana inspirasi bagi peradaban manusia. Sekolah berubah menjadi beban yang harus dipanggul sebagai syarat untuk bertahan hidup. Bukan sebagai proses mengolah talenta menjadi sebuah vokasi.
Pereduksian makna didaktika ini juga menderivasi keragaman profesi di masyarakat. Keragaman talenta yang dianugerahkan Illahi idealnya melahirkan keragaman vokasi, yang pada kemudian akan melahirkan variasi profesi. Tak kalah pentingnya setiap individu yang berprofesi sesuai vokasinya hidup bahagia dan menjadi tauladan. Ragam profesi dan kehidupan profesional yang bahagia itu adalah inspirasi bagi anak-anak Indonesia.
Ruang-ruang masa depan
“Masa depan adalah ruang-ruang kosong, terserah kita hendak diisi apa.”
Melintasi horison waktu, melalui pendidikan kita hendak mencapai sebuah cita-cita luhur dimasa depan yaitu masyarakat Indonesia yang madani. Jika tidak tabu, marilah menerawang masa depan memakai kacamata angka-angka kuantitatif berikut untuk membaca kualitas manusia Indonesia. Untaian angka-angka ini seyogyanya menjadi buku pedoman yang bisa dibaca sebagai modal membangun kualitas masa depan Indonesia melalui pendidikan. Saya percaya kualitas pendidikan (pedagogi/didaktika) niscaya berhubungan tegak lurus dengan tingkat literasi manusia. Sejarah mencatat peradaban kita didasarkan dan disokong pada huruf-huruf yang disusun dalam kata yang mengandung makna, sehingga setiap manusia bisa membaca kemudian mengetahui maksud dari perkembangan peradaban, dari masa lalu, masa kini dan menuju masa depan. Oleh sebab itu mari bersepakat membaca masa depan dengan melihat penguasaan manusia Indonesia akan literasi.
Angka pertama yang saya sajikan sebagai cermin masa depan adalah angka melek huruf Indonesia. Menurut data yang saya dapat dari BPS ditahun 2013, angka melek huruf manusia Indonesia cukup menggembirakan, yaitu 94,14 %, artinya dari seluruh jumlah manusia Indonesia usia 15 tahun keatas, sejumlah 94,14 % telah mengenal huruf, telah mampu baca tulis. Angka ini cukup mengembirakan, bila kita bercermin pada tahun 1950 saat itu angka melek huruf Indonesia hanya 20 %. Peningkatan yang cukup signifikan dalam rentang waktu yang tidak lama. Ada korelasi positif antara tingkat melek huruf dan kesejahteraan sebuah bangsa. Seluruh negara maju telah membuktikan korelasi tersebut secara empiris.
Namun cukupkah ?
Fakta berikutnya justru merisaukan, meskipun tingkat melek huruf Indonesia cukup tinggi, namun indeks minat baca kita sangat rendah, salah satu paling rendah di Dunia. UNESCO pada tahun 2012 mencatat, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia,hanya ada satu orang yang mempunyai minat baca. sementara itu bersandar padahasil penelitian bahwa salah satu faktor rendahnya kualitas manusia disebabkan oleh rendahnya akses kepada informasi. Harus diakui, pada era teknologi secanggih saat ini, akses mendapatkan informasi tidaklah sesulit dahulu, kita tidak lagi perlu menghabiskan waktu dan energi yang banyak untuk mengakses informasi, yang menjadi masalah adalah rendahnya minat manusia mengoptimalkan akses tersebut. Hal ini disebabkan oleh rendahnya minat baca. Kita punya buku,baik itu cetak maupun digital dan sumber-sumber informasi lainnya namun ironisnya masyarakat kita malas membaca.
Tidak ingin berkutat pada lebih banyak angka, setidaknya dua ukuran kuantitatif literasi manusia Indonesia diatas mumpuni dijadikan teropong yang cukup jernih untuk melihat ruang-ruang masa depan Indonesia. Bahwa bangsa kita memiliki potensi yang bila digunakan dengan optimal mampu mengisi masa depan bangsa Ini dengan kecemerlangan, kesejahteraan.
Dia yang berdiri yang ditiru dan diteladani
Bila kita sepakat mengartikan sekolah seharusnya menjadi wadah transformator talenta dan bakat menjadi vokasi, dan kita sepakat didalam wadah inilah anak-anak menemukan buah-buah ilmu pengetahuan yang menjadi energi mereka untuk bertransformasi, maka marilah juga bersepakat bahwa guru adalah emulator dan emulsi yang menstimuli dan menjaga agar setiap anak memakan buah pengetahuan yang benar. Marilah bersepakat bahwa dia yang berdiri di depan kelas itu adalah contoh hidup dari karakter dan moral Illahi yang transenden. Sehingga dia yang berdiri yang ditiru dan diteladani itu layak kita tempatkan dipuncak hirarki penghormatan peradaban kita.
Oleh sebab itu pemerintah sebagai regulator peradaban harus memastikan setiap insan yang menjadi guru adalah manusia yang kompeten dan terpanggil sebagai seorang pendidik. Dalam hal ini saya menekankan keharusan, terutama saat kita berbicara soal pendidikan dasar. Pada konteks ini seorang guru haruslah seorang yang memahami bahwa pekerjaan tangannya akan menentukan dasar dari transformasi awal talenta menjadi sebuah vokasi. Bahwa didalam seluruh pengajarannya kita percayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak kita untuk dioptimalkan; memberatas buta huruf dan menumbuhkan minat baca. Kepada guru kita titipkan harapan akan ruang-ruang masa depan Indonesia. Sehingga dalam menghidupi vokasinya sebagai guru dalam pengajarannya kita akan mendengar sayup-sayup doa ini dari hati mereka ke hati setiap kita : “Dear God, Help me to see each of my children as uncut diamond, needing only enough presure to knock off the rough edge. So that the brilliance that You have placed in each in their hearts will always shine through.”