Dalam sejarahnya, Thanksgiving dirayakan sebagai hari di mana para petani berterima kasih kepada Bumi atau entitas lain tergantung agama dan kepercayaan, terhadap hasil pertanian yang mereka peroleh selama setahun. Dirayakan di akhir musim gugur, karena selama 3 misum sebelumnya mereka mampu bercocok tanam. Di musim dingin hanya sedikit yang masih bercocok tanam, karena ketika itu belum ditemukan rumah kaca.
Di tahun 1870an, 70 hingga 80% penduduk Amerika Serikat bekerja di bidang pertanian. Sekarang hanya 2 persen. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Saya tidak bicara soal jumlah, karena jumlah penduduk Amerika Serikat di tahun 1870an memang tidak sebanyak sekarang. Namun saya bicara mengenai rasio antara jumlah orang yang menghasilkan bahan pangan dengan jumlah orang yang makan. Selain itu, perlu disinggung mengenai bagaimana soal kemampuan mengelola lahan.
Pada sensus di negara tersebut tahun 2007, terdapat lahan pertanian seluas 3,730,000 km2. 2 persen dari sensus penduduk Amerika Serikat pada tahun 2007 yang sekitar 300 juta jiwa, maka intensitas pengelolaan lahan di sana adalah 0.621 km2 per jiwa atau sekitar 62 hektar per orang. Jumlah itu sudah dikategorikan petani kaya di Indonesia. Namun hal itu bukanlah angka yang sesungguhnya, karena angka 2% sudah termasuk mereka yang bekerja di luar ladang seperti penyedia jasa alat dan mesin pertanian, penjual pupuk, penyedia benih, inspeksi hewan ternak, dan sebagainya. Sehingga rata-rata petani di Amerika Serikat mengelola lahan seluas lebih besar dari itu.
Bagaimana satu orang mampu mengelola lahan seluas itu? Tentu saja dengan mekanisasi pertanian.
Indonesia masih terpaku pada cangkul dan bajak yang ditarik kerbau, namun tidak melirik betapa pentingnya pengembangan alat dan mesin pertanian. Delapan hektar lahan dapat dibajak dengan traktor roda empat selama 10 jam. Dan satu traktor itu dioperasikan oleh satu orang. Dibandingkan dengan cangkul, satu hektar lahan membutuhkan waktu sampai tiga minggu dengan satu cangkul. Dengan 62 hektar, maka sesungguhnya dibutuhkan 78 jam dengan traktor roda empat. Dengan satu hari menggunakan 10 jam kerja, maka 62 hektar dapat dikerjakan dengan satu traktor selama 8 hari. Dengan empat traktor menjadi 2 hari.
Ya secara hitung-hitungan di atas kertas memang mudah. Argumen yang menghalangi perkembangan mekanisasi pertanian adalah mahalnya harga traktor dan tidak terbeli oleh petani kecil. Selain itu lahan pertanian yang dimiliki petani Indonesia rata-rata sempit, sehingga penggunaan traktor tidaklah efisien.
Bagaimana kalau lahan-lahan yang sempit itu digabungkan, bukankah menjadi luas? Bisa saja sekelompok petani secara bersama-sama membeli satu unit traktor roda dua untuk digunakan bersama-sama dengan penggunaan secara bergantian atau terjadwal. Dari sisi jam kerja, penggunaan traktor tentu saja lebih cepat, sehingga petani bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk melakukan berbagai hal, seperti menyiapkan benih dan sebagainya.
Dan mekanisasi petanian tidak hanya berada pada pembajakan lahan saja. Di negara maju, mekanisasi pertanian sudah meluas dari pra-penanaman hingga pemanenan. Pra-penanaman seperti membajak. Mekanisasi pada penanaman dilakukan dengan mesin tertentu tergantung pada jenis tanaman yang ditanam. Mekanisasi pada pemanenan pun dilakukan berdasarkan jenis tanamannya.
Mekanisasi tidak terlepas dari keberadaan mesin. Adanya mesin berarti membutuhkan bahan bakar. Indonesia memang masih mengimpor bahan bakar, namun saat ini penggunaan bahan bakar nabati sebagai sumber tenaga mesin traktor telah tersedia, dan bahan nabati tersebut tidak perlu diolah secara rumit.
Lemahnya kebijakan mekanisasi pertanian dikarenakan renggangnya antar sektor yang seharusnya terkait. Dalam implementasi suatu inovasi, dibutuhkan adanya integrasi mulai dari penelitian dan pengembangan hingga end-user. Begitu banyak pihak yang terlibat dalam hal ini, mulai dari akademisi yang menginisiasi penelitian, industri manufaktur mesin pertanian, hingga sektor perbankan yang melayani kredit. Semua itu belum terhubung dengan baik.
Bisakah Indonesia bergerak dari "negara museum" karena mempertahankan cara bercocok tanam yang kuno, menjadi negara dengan industri pertanian yang maju?