Sebagai salah seorang Indonesia yang kebetulan juga mendapatkan kesempatan menimba ilmu hingga jenjang doktoral di luar negeri, kadang di hati kecil saya muncul keinginan untuk tidak kembali ke Indonesia dan mencoba untuk bekerja di luar negeri. Tetapi ketika pikiran tersebut muncul, maka muncul pula lah perasaan yang mengingatkan bahwa saya harus kembali ke Indonesia untuk mengabdi pada republik tercinta. Sungguh nasionalis rasa tersebut.
Beberapa hari yang lalu saya sempat berbincang dengan seorang kawan sesama kandidat doktor yang berasal dari Bangladesh. Kawan saya ini cukup jenius, belum genap tiga tahun beliau sudah akan menamatkan thesis S3 nya. Latar belakang pendidikannya pun tidak main-main. Master dengan predikat summa cumlaude (IPK 4 dari 4) dari salah satu universitas di Korea dan Universitas di Dhaka. Beliau pun bekerja di salah satu institusi pemerintahan di Dhaka.
Ketika saya bertemu beliau, beliau sedang sibuk mengirimkan aplikasi pekerjaan. Dari situlah awal diskusi kami. Karena saya tahu beliau adalah PNS nya Bangladesh, saya menanyakan kenapa masih harus mencari kerja? Dengan bekal S3 bidang ekonomi dengan 3 publikasi saya yakin karir nya akan melejit. Mendengar pertanyaan saya tersebut, kawan saya tadi mengenditkan kesibukkan mengisi aplikasi pekerjaan online.
Beliau lalu bercerita bahwa kondisi Bangladesh benar-benar tidak kondusif. Dengan populasi hampir 160jt dan luar wilayah tidak sampai separuh dari Indonesia, masalah sosial-ekonomi khususnya kriminalitas merupakan makanan sehari-hari penduduk Bangladesh khususnya Dhaka. Dia bercerita bahwa beberapa hari yang lalu seorang politisi mati di tabrak oleh sebuah kendaraan ketika baru keluar kantor nya. Sebelumnya juga ada seorang PNS Bangladesh yang ditemukan mengapung disungai karena menolak suap. Jadi intinya susah hidup dengan benar di Bangladesh.
Diawal perbincangan saya juga menyampaikan bahwa kondisi ekonomi dan politik Indonesia juga tidak begit baik, Jika disamakan dengan Australia dan New Zealand maka jauh lebih nikmat tinggal di kedua negara tersebut. Tapi setelah mendengar cerita kawan itu, saya baru sadar. Ternyata Indonesia itu masih nyaman untuk ditinggali. Masih ada senyum dan tawa dari penduduka Indonesia. Saya menanyakan kenapa kondisi Bangladesh bisa begitu parah. Setelah berpikiri beberapa saat beliau menjawab bahwa sebenarnya hal tersebut karena memang karakter dari penduduk Bangladesh yang arogan. Tidak pernah puas dan selalu mengedepankan keinginannya tanpa mau tahu dengan yang lain. Beliau pun menambahkan hal tersebut berbeda dengan orang Indonesia. Sewaktu di Korea, kawan saya itu juga punya beberapa teman akrab yang berasal dari Indonesia dan menurut nya orang Indonesia itu adalah orang yang masih dapat bersukur dan menikmati sesuatu yang kecil. Sehingga orang Indonesia tidak selalu memiliki ambisi untuk mendapatkan yang lebih dan yang lebih.
Setelah perbincangan itu, saya menanayakan kepada diri saya sendiri benar-tidak nya penyataan kawan saya tersebut. Setelah merenung beberapa saat, saya mencoba menyimpulkan bahwa memang kita sebagai orang Indonesia adalah orang yang masih mampu bersukur atas segala sesuatu yang kita miliki. Walaupun banyak keterbatasannya. Kita masih bisa tertawa dan tersenyum dengan apapun kondisi yang kita hadapi. Saya tidak mau mengeneralisir, tetapi jika hal tersebut benar, maka bersukur lah kita menjadi orang Indonesia.