[caption id="" align="alignright" width="300" caption="Sbr. Gbr:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/e/ea/1986_FIFA_World_Cup_logo.gif"][/caption] Ada satu kisah yang paling menarik sepanjang sejarah saya menonton sepak bola piala dunia. Saat itu piala dunia FIFA ke-13 yang berlangsung di Meksiko mulai tanggal 31 Mei sampai 29 Juni 1986. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya menonton Sepak Bola saat itu bukan karena keinginan sendiri, sebab saat itu saya memang tidak tahu apakah piala dunia FIFA sudah waktunya digelar atau belum. Apalagi tidak ada gebyar piala dunia seperti saat ini. Tetapi Bapak saya yang membawa saya untuk menonton siaran sepak bola di sebuah rumah Mantri Kesehatan yang ada di daerah tempat tinggal saya. Sebuah kecamatan terpencil yang bernama Woyla dalam Kabupaten Aceh Barat. Karena hanya di rumah Pak Mantri itu saja satu-satunya yang ada pesawat televisi saat itu. Karena hanya satu-satunya pesawat televisi itu, maka dapat dibayangkan, bagaimana suasana menonton sepak bola piala dunia di sana. Semua masyarakat berbondong-bondong tiap malam datang ke rumah Pak Mantri untuk menonton TV. Karenanya terpaksa Pak Mantri menempatkan TV barunya diluar, di halaman rumahnya. Sehingga semua warga di sana nonton piala dunia tahun 1986 juga "nonton bareng" di halaman rumah pak Mantri. Makanya ketika saat ini banyak kafe-kafe yang menawarkan nonton bareng piala dunia, saya selalu ingat dan terbayang nonton bareng di rumah Pak Manteri Kesehatan bersama warga kampung. Terus terang, siaran televisi saat itu tidak sama dengan sekarang yang begitu mudah memperoleh channel yang tepat. Apalagi saat ini bertaburan antene parabola dan tv berlangganan. Mau siaran mana saja begitu mudah didapat. Di daerah saya saat itu termasuk daerah yang jauh dengan stasiun transmisi, maka terpaksa antene TV harus ditempatkan pada tempat yang tinggi. Biar pesawat televisi Pak Mantri dapat terlihat gambarnya, terpaksa antene TV itu harus diikat pada dua batang pohon bambu. Kalau tidak jangan berharap pesawat televisi itu bisa menerima siaran, yang pada saat itu hanya ada siaran TVRI. Tentu saja, Pak Mantri tidak bekerja sendiri, banyak orang kampung yang ikut membantu memasang antene tv-nya. Tetapi meskipun antene TV sudah setinggi dua batang pohon bambu, belum cukup juga untuk mendapat siaran TV secara otomatis. Masih ada kerja lain yaitu para sukarelawan memutar-memutar antene TV itu hingga gambar di layar pesawat tivi nampak. Itupun gambarnya masih masih didominasi oleh "bintik-bintik" gerimis hujan. Makanya ketika pada suatu malam sehabis menonton piala dunia saat itu. Salah seorang tetangga saya sambil jalan pulang dari rumah Pak Mantri, ngobrol dengan Bapak Saya: "
Padahai di gampong geutanyo hana ujeun, pakon tip malam di gampong gop sabe-sabe itoh ujeuen" (Padahal di kampung kita tidak ada hujan, kenapa di kampung orang (maksudnya tempat piala dunia digelar) selalu turun hujan). Bapak saya heran dengan pembicaraan temannya itu. "
Pat ka teupeu di gampong gop ujeuen? (dimana kamu tahu kampung orang hujan?)" Tanya Bapak saya keheranan. "
Ken Bak Tipi tip malam sabeh deueh rintek ujeuen? (kan tiap malam di pesawat televisi selalu nampak rintik-rintik hujan? "Jelasnya kemudian. "
Oooo, nyan ken ujeun, tapi tipi nyan yang meu bret-bret (Ooo, itu bukan hujan, tapi memang pesawat TV yang acak-acak" Jelas Bapak saya sambil ketawa. Untung saja ada obrolan seperti itu. Kalau tidak, mungkin tetangga saya itu sampai saat masih berpikiran bahwa piala dunia tahun 1986, selalu diiringi oleh gerimis hujan.
KEMBALI KE ARTIKEL