Sebelum MoU Helsinki ditandatangi oleh petinggi GAM dan RI pada tanggal 15 Agustus 2005, suasana Aceh terasa tidak menentu. Pertikaian antara GAM dan RI yang berkepanjangan itu telah menyebabkan banyak kerugian di kedua belah pihak. Terutama bagi masyarakat Aceh, mereka bukan hanya kehilangan harta benda saja tetapi juga jiwa. Pada masa konflik, hampir setiap minggu ditemukan jasad-jasad yang tidak bernyawa. Akibatnya, banyak wanita-wanita kehilangan suaminya dan anak-anak kehilangan Ayah tercinta.
Hal yang membuat kita terasa pilu mengenangnya adalah ketika mengingat yang menjadi korban itu adalah mereka yang memang tidak tahu apa-apa. Bahkan tak kurang dari mereka adalah generasi-generasi muda penerus harapan bangsa.
Namun itu semua adalah masa lalu yang tidak perlu terus menerus diingat-ingat. Meskipun tidak boleh dilupakan begitu saja. Karena akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua dan anak cucu kita. Bahwa konflik atau perang antara sesama memang tidak punya makna apa-apa.Kedua belah pihak pasti akan menanggung kerugian: kalah jadi abu dan menang jadi arang. Lebih baik hidup tenteram dalam kedamaian untuk merajut masa depan yang lebih pasti.
Sekarang setelah ditandatangi MoU Helsinki itu, Aceh sudah aman. Paling kurang tidak ada lagi hari-hari penuh kekhawatiran akan peluru nyasar. Atau rasa takut ketika melintasi pos-pos penjagaan tentera atau ketika melewati daerah-daerah rawan.
Sudah lima tahun ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meskipun memang, di tempat-tempat tertentu masih belum begitu aman, itu pun bukan karena perang, tetapi karena perampokan bersenjata. Dan pernah juga secara mengejutkan ditemukan aktivitas pelatihan meliter illegal di sana yang diyakini dilakukan oleh para teroris . Selebihnya memang aman-aman saja.
Satu hal yang begitu indah yang terjadi saat ini di Aceh adalah tidak ada lagi wajah-wajah yang memendam dendam kesumat akibat konflik yang berkepanjangan itu. Bahkan, mereka-mereka yang saat dalam konflik menyaksikankan sendiri di depan mata bagaimana orang tuanya diseret dan kemudian tidak pernah pulang kembali sampai saat ini.
Pernah, beberapa hari menjelang HUT RI ke-65 yang lalu tanpa sengaja saya bertemu dengan seseorang yang orang tuanya menjadi korban keganasan perang. Ayahnya ditemukan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan waktu itu. Pada saat kejadian itu, saya tahu persis dia itu masih duduk dibangku kelas terakhir SD.
Apa yang terjadi, hari-hari setelah kejadian penembakan Ayahnya. Si Anak ini sepertinya tidak bias menerima apa yang terjadi terhadap ayahnya. Menurut cerita guru-gurunya, mulai saat itu buku tulisnya penuh dihiasi dengan gambar senjata AK-47. Dan, ketika ditanya apa cita-citanya kelak dengan spontan dia menjawab, ingin menjadi tentera GAM untuk membalas kejadian yang menimpa ayahnya.
Dan, ketika pertemuan menjelang HUT RI ke-45 itu, terus terang saya tidak berani mengungkit masa lalunya terutama mengulangkan kembali cerita yang pernah menimpanya. Karena barangkali itu sudah dikuburnya dalam-dalam.
Mungkin karena itu, saya tidak menemukan lagi guratan dendam dan luka di wajahnya seperti ketika kejadian yang sangat miris dulu.Sekarang, dia tumbuh seperti anak muda lain sambil merajut hari-hari di sebuah desa bersama ibu tercinta. Bahkan kemudian saya melihat di depan rumahnya juga ada bendera merah putih berkibar dengan megah menyambut HUT RI ke-65. Nampaknya memang dendam dan luka itu sudah tidak ada lagi seiring dengan semakin damainya Aceh.
Melupakan dendam dan luka: Itulah sesungguhnya Merdeka bagi mereka seperti dia. Karena melawan rasa dendam yang membara dalam dada bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Untuk dapat melakukan itu butuh pengorbanan yang luar biasa besarnya. Bahkan butuh waktu lama. Tetapi dia telah memperlihatkan hal yang luar biasa itu. Mudah-mudahan kemerdekaan itu tetap tentram bersemanyam di dalam dadanya. Karena itu adalah kemenangan dari sebuah pertarungan batinnya. Dan saya yakin, dia telah memenangkan semua pertarungan itu. Sekarang Bagaimana dengan kita????