Pertama kali saya ke Air Terjun Riam Barajang sekitar tahun 1995. Tepatnya antara bulan Agustus dan September 1995. Saat itu saya duduk dibangku Kelas I Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kandangan (sekarang berubah jadi MAN 2 Hulu Sungai Selatan). Dimana ada kegiatan Perkemahan Jum'at Sabtu Minggu (Perjusami) yang wajib diikuti seluruh siswa Kelas I yang baru masuk ke MAN 2 Kandangan.
Selama tiga hari, sejak Jum'at sore hingga Minggu siang kami mengikuti perkemahan di kawasan Loksado. Tempatnya di sebuah lapangan dekat SD Loksado. Karena pertama kali ke Loksado tentu saya asing dengan lokasi yang kami gunakan untuk berkemah tersebut.
Singkat cerita pada hari Minggu peserta Perjusami, sebelum pulang, dibebaskan untuk berwisata sekitar Loksado. Kami saat itu memilih Air Terjun Riam Barajang karena lokasinya tidak begitu jauh dari tempat kami berkemah.
Jaraknya sekitar 3 kilometer saja. Kondisinya saat itu tentu tak seperti sekarang ini. Kami melewati jembabatan gantung Loklahung. Ada seorang teman, karena sangat takut melewati jembatan gantung, ia harus rela jalan bawah jembatan dengan melintasi sungai.
Kami singgah di depan Balai Malaris, setelah itu melanjutkan langkah kaki menuju Air Terjun Riam Barajang. Setibanya di sana kami tak tahan lagi melihat air segar. Langsung melepas baju lalu terjun ke air. Pemandangan sekitar cukup indah. Suara air yang melintasi bebatuan terdengar begitu keras. Sementara di Riam Barajang ada bentuk seperti kolam di sana kita bisa menikmati segarnya air.
Tinggi airnya yang turun dari atas sekitar 4 meter saja. Karena ini yang paling dekat, sehingga tempat inilah yang paling sering dikunjungi orang bila berwisata ke Loksado. Di tempat jauh masih ada Air Terjun Haratai, tapi untuk ke Haratai harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk sampai ke sana.
Juga ada Air Terjun Rampah Menjangan, yang melewati kawasan hutan lebat dan bukit kecil yang menanjak dan menurun. Jadi Riam Barajang adalah pilihan yang cukup tepat sebagai penawar hati, bagi yang tak bisa ke tempat yang jauh.
Walau tak begitu tinggi tapi sudah cukup bisa melepas rasa penat dan lelah dengan mandi di airnya. Sekitar 26 tahun berlalu, kondisi Riam Barajang tak banyak yang berubah. Hanya saja tempat yang pernah saya lewati sebelum tiba di Riam Barajang, seperti bangunan Balai Malaris, yang menggunakan kayu biasa, sekarang berubah cukup bagus.
Kalau tempat wisata buatan tentu waktu 26 tahun, akan mengalami perubahan. Bisa tetap bertahan atau hilang tak tersisa. Tentu kita paham seperti terlihat di Kabupaten HSS sendiri, di zaman milenial dan serba instan ini, pernah viral beberapa tempat wisata dadakan.
Paling lama setahun atau lebih bertahan, itu sudah bagus. Sekarang coba lihat apakah objek wisata itu tetap ada, tetap bertahan, atau masih eksis? Entahlah saya kurang tahu. Beda dengan wisata alam buatan Allah SWT. Bisa bertahan lama, sampai kiamat.
Buktinya Air Terjun Riam Barajang ini, sejak 26 lalu saya ke sana, hingga sekarang tetap eksis, tak berubah lokasinya. Mungkin yang berubah di sekitarnya yang didirikan bangunan penunjang untuk beristirahat, lalu papan penunjuk lokasi, dsb. Papan penunjuk gunanya untuk memudahkan orang menuju tempat tersebut.
Terakhir saya ke Riam Barajang sekitar tahun 2019, bersama seorang kawan, disela-sela mendampingi siswa mengikuti perkemahan di Tanuhi, datang ke sana. Suasana sepi karena tak ada orang, kala kami datang ke sana.
Saat seperti itulah yang saya senangi untuk menikmati Riam Barajang. Tidak mandi, hanya menceburkan kaki ke air putih bening menyegarkan. Bagi Anda yang butuh suasana berbeda, alam yang sejuk dan gemericik air turun dari tingkat atas ke bawah kolam alam, tak ada salahnya datang ke Riam Barajang, dijamin puas. (ahu)