Kalian merasa nggak kalau bulan ramadan tahun ini seolah berjalan dengan cepat sekali? Walau saya tidak ikut menjalankan ibadah puasa, namun semakin hari merasa hari yang dilewati itu sangat cepat. Barangkali ini hanya perasaan saya saja yang berdiam di rumah. Melakukan rutinitas di rumah seperti mandi, makan, duduk di depan laptop, menulis satu hari satu tulisan di Kompasiana, lalu diulang kembali setiap harinya.
Bahkan waktu sore hari, saat sedang menikmati teh telang dengan biskuit. Ibu saya bilang waduh sudah mau sore. Kok rasanya cepat sekali ya?
Bulan ramadan yang baru saja kita lewati, membuat saya akhirnya beradaptasi dengan situasi dan memacu diri untuk lebih baik. Kita sekarang sudah tidak asing lagi dengan penggunaan aplikasi ataupun platform dalam melakukan kegiatan serta aktivitas sehari-hari. Mulai dari belajar hingga bekerja, sesuai instruksi pemerintah.
Biar nanti kalau ditanya, apa yang sudah kamu perbuat saat negara sedang dilanda bencana. Kita bisa bilang, diam-diam di rumah saja, rebahan.
Memang tidak enak rasanya, seperti tidak bisa menyentuh orang. Berpelukan dan bersalaman secara fisik. Hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan berjumpa langsung. Oleh karena itu manusia bisa menyesuaikan diri walau tidak menghilangkan esensi dan nilai lewat silaturahmi virtual.
Silaturahmi virtual ini menjadi pengganti ketika kita tidak bisa bersilaturahmi secara langsung di rumah kerabat. Mungkin kita tidak bisa menikmati hidangan makanan yang hangat khas hari raya. Aroma opor ayam yang meletup-letup setelah dimasak, daging rendang, malbi, hingga ketupat. Namun, momen ini jangan sampai membuat kita tidak bisa bersilaturahmi. Bisa saja kita mengirimkan makanan untuk teman yang rindu masakan hari raya bukan?
Pagi tadi saya dikirimkan ketupat, opor, tumis buncis, hingga kue basah hasil buatan Bikcik Tika. Rasanya senang sekali karena walau raga ini tidak bisa mampir ke rumah ternyata bisa mencicipi masakan di rumahnya. Makasih ya, Bikcik :)
Selain itu, selama bulan ramadan ini ada hal yang patut kita syukuri yaitu diberikan kesehatan. Memang kesehatan itu adalah harta yang tidak ternilai. Dengan tubuh yang sehat kita masih bisa beraktivitas. Terlebih situasi pandemi ini tentunya tak henti-hentinya berdoa agar selalu diberikan tubuh dan jiwa yang sehat untuk diri sendiri dan keluarga.
Rezeki diberi sehat memang tidak bernilai seperti uang. Memang kita butuh uang, apalagi kalau kita yang terkena dampak pandemi. Iuran uang sekolah, asuransi, tagihan internet, dan lainnya tetap harus dibayar bukan walau mungkin saja penghasilan kita berkurang. Namun, bersabar saja rezeki akan datang jika itu memang milik kita.
Di idul fitri tahun ini saya pun sedih. Umur tidak ada yang tahu, termasuk lima menit dari sekarang kita tidak tahu apa yang akan terjadi sama hidup. Kemarin baru saja saya membaca berita tentang seseorang yang meninggal secara tiba-tiba. Padahal malam sebelumnya dia baru saja menikmati makanan. Saya ikut terenyuh ketika membaca pesan yang masuk dari temannya. Ya, umur tidak ada yang tahu. Rasanya ketika ramadan ada yang berlalu bukan saja ada kegembiraan namun juga kesedihan kehilangan seseorang.
Akhirnya kini kita harus kembali lagi hidup layaknya normal. Situasi pandemi tentu tidak bisa membuat kita melupakan begitu saja. Masih ada banyak nyawa yang berjuang dan harus dilindungi. Semoga esok hari selesai ramadan ini kita masih bisa berjumpa lagi di ramadan tahun depan. Seperti sebuah gelas berisi air, hati kita senantiasa diberi kebeningan batin untuk membuka pintu maaf dan memaafkan.