Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Orientasi Mendukung Calon Legislatif, karena Uang?

19 Januari 2023   15:12 Diperbarui: 19 Januari 2023   15:22 162 8
Terkait sistem pileg pemilu 2024  proporsional terbuka, tertutup dan distrik sudah banyak yang mengupas tuntas dari para kompasianers yang handal dan produktif. Intinya, saya pribadi cenderung tidak memilih membeli kucing dalam karung dalam mendukung caleg.
Saya hanya ingin berbagi cerita, flash back pemilu 2019  ketika dihadapkan pada dua pilihan antara calon legislatif (caleg) parpol A dan caleg yang diusung oleh parpol B. Dan cerita yang mengikutinya.
Awalnya saya dimintai bantuan untuk mendulang suara dari caleg A. Strategi sudah saya atur sedemikian rupa, dan menemukan kesimpulan akhir untuk menginput data. Data base yang diperoleh dari survey suara masif.
Cukup lima suara dari masing-masing RT sedapil dimungkinkan menuai kemenangan. Tinggal bagaimana  merawat konstituen yang tidak menghabiskan energi dengan pola tersebut.
Sangat disayangkan, tinggal seperempat perjalanan caleg A bertindak "semau gue" dan tidak menghiraukan timses lagi.
Pada saat bersamaan muncul caleg B yang datang ke rumah, dan memohon-mohon minta bantuan juga. Saya sudah komitmen memberikan suara lima dalam satu keluarga saya pada caleg A. Maka ketika caleg B terkesan memelas dan  merengek-rengek minta bantuan saya konsekuen menyampaikan bahwa suara saya dan keluarga diberikan pada caleg A. Dia yang datang bisa dikatakan pada last minute, memaksa minta suara yang lain (bukan suara saya dan keluarga). Dan meminta saya membantu untuk pemenangannya. Bagaimana mungkin saya berdiri di atas dua kaki, begitu pikir saya saat itu.
Setelah saya berpamitan minta izin pada caleg A yang notabene saudara saya dengan alasan logis, akhirnya saya mengiyakan permintaan caleg B. Saya pikir juga kendaraan mereka berdua berbeda, sehingga saya berharap kedua-duanya akan menang tanpa merusak data base caleg A. Dan basis suara caleg B masih sangat berpeluang untuk memenangkan juga.
Hari itu caleg B memaksa saya untuk menerima uang lima juta rupiah. Uang sebagai modal awal untuk operasional. Tapi saya sama sekali tidak menerimanya. Saya tolak dengan alasan saya hanya niat membantu mencarikan suara, bukan   mencari uang.
Besoknya dia datang lagi (sebelum saya bekerja, katakanlah bekerja karena harus mengeluarkan tenaga, pikiran dan juga waktu yang tersita). Dia datang dengan lesu dan muka cukup pucat. Waktu yang sangat limit mendekati pemilu dirasa kurang untuk mencapai ambang batas perolehan suara. Saat itu dia pasrah sebelum saya bekerja, dan mengungkapkan tidak mau lanjut lagi menjadi kontestan. Hati saya terpanggil untuk mensupportnya. Dan tergerak untuk mulai terjun mencari suara. Saya bujuk untuk tetap melangkah. Saya beri semangat dan meyakinkan bisa menang. Harus optimis. Akhirnya dia bangkit kembali dan semangat meraih sukses demi cita-cita dan harapan ayahnya juga. Lagi-lagi dia memaksa saya untuk menerima uang transport. Sampai memaksa 1,5 juta ya nggak apa-apa tolong diterima, begitu bujuknya. Katanya supaya dia mantep dan percaya diri kalau saya siap membantunya. Akhirnya saya terima saja uang itu dan tentunya bukan masuk kantong pribadi tapi untuk modal melangkah.
Hari pertama gerakan saya masih canggung mengingat caleg A tetap berharap saya membantunya meskipun dengan terpaksa merelakan saya membantu caleg B. Juga timses caleg A yang tanpa komentar ketika saya minta izin membatu caleg B.
Dengan pertimbangan sebagai teman dan punya kepentingan untuk umum (bukan kepentingan pribadi), akhirnya saya totalitas berjuang, terjun ke lapangan. Blusukan ke wilayah-wilayah yang sama sekali belum pernah saya singgahi sebelumnya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun