Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Imagologi: Jalan (Kembali) Menuju Imajerialitas Seni

30 Mei 2011   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 441 0



Imagologi bukanlah konsep. Ia adalah jalan hidup, cara mengada, logos bagi imaji, dan imaji bagi logos. Ia adalah cara, gaya, dan paradigma hidup. Pada mulanya, hidup adalah imaji, dan bukan konsep. Seorang bayi belajar dan mengenal dunia lewat imaji-imaji. Imaji adalah semua yang bersentuhan dengan dan ditangkap oleh indera, baik melalui indera badan maupun hati, yang lalu terekam di dalam diri manusia. Dunia ini, pun jatidiri manusia, termasuk dalam imagologi. Taylor dan Saarinen menyebutnya dalam bentuk jamak, imagologies. Sebab, ia memang banyak; tak bisa cuma satu. Mereka mengatakan bahwa imagologies adalah filsafat media. Memang imaji akan selalu membutuhkan media, selama manusia hanya bisa menangkap sebuah eksistensi dengan indera. Dan sesungguhnya, seni manakah yang tak bermedium? Bahkan seni itu sendiri adalah medium bagi imaji, sebab tidak setiap imaji mampu dicerap oleh manusia. Hanya imaji yang bermedium, akan sampai pada manusia. Yang tidak, akan terus terselubung, menunggu waktunya untuk disingkapkan. Sayang sekali, seni sudah makin konseptual kini. Media imaji-imaji itu, telah dinilai dan dihargai berdasarkan bobotnya, kandungannya, ‘berat’-nya. Alih-alih menyingkapkan imaji, media tergoda untuk menghamba pada konsep-konsep, kritik sosial, dan pesan moral. Seni, atau media, menjadi semakin berat. Terlalu banyak logos ketimbang imaji. Jelas ia bukan lagi konsumsi para nonakademisi, apalagi kaum jelata. Jika benar demikian, mungkin setiap logos (=kata, konsep) dalam seni perlu dikembalikan kepada logo (=figur, simbol).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun