Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Meskipun Kau Berlindung

14 Agustus 2012   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 96 0
Bisa. Aku yakin bisa. Maksudku orang di jok belakang motorku. Ia pasti bisa. Namanya tersohor sampai kampung-kampung beradius sepuluh kilo dari tempat tinggalnya tahu di mana rumah Mbah Brewok.

Aku menepis kemungkinan Mbah Brewok tidak bisa membantuku kali ini. Tidak mungkin. Ia pasti bisa. Harus bisa!

Ban motorku meleat-leot menghindari kubangan yang dibuat hujan semalam. Takut becek itu mengandung benda-benda tajam yang bisa membocorkan angin dalam ban. Atau kedalaman lubang tempat air menggenang itu terlalu dalam sehingga bukan hanya ban yang bocor, peleg motor bisa ikut bengkok. Dan mampuslah aku kalau itu sampai terjadi malam ini. Tidak di tengah kondisi jalan seperti ini.

Kanan-kiri tanaman jagung setinggi dua kali tinggi orang dewasa memagari jalan yang kulalui ini. Akses ke rumah Mbah Brewok memang tak mudah. Selain jauh dari jalan utama, satu-satunya jalan menuju rumahnya harus melewati jalan yang jarang dilewati kendaraan. Jalan ini hanya bisa dilalui sebuah sepeda motor. Kanan-kiri tanaman jagung tinggi. Lampu jalan terpisah lima puluh meter jauhnya. Itu pun beberapa mati. Kalau matahari sudah turun, cukup mengerikan melewati jalan ini.

Kutepis bayangan-bayangan aneh di kepalaku. Aku tak peduli seberapa sulitnya jalan menuju Mbah Brewok. Yang penting dia harus bisa membantuku. Ilyas harus sembuh.

Aku mengenal Mbah Brewok dari seorang penjual nasi goreng langgananku. Seperti biasa, aku mengeluhkan kondisi adikku, Ilyas, yang tak kunjung sembuh. Ia menderita hepatitis B. Aku tak tahu sejak kapan ia punya penyakit seperti itu. Yang jelas dua hari setelah hari raya Idul Fitri kemarin ia sudah tak mampu beraktifitas seperti biasa.

Aku sudah berusaha membawanya ke rumah sakit manapun semampu biayaku. Tiga kali ia pindah rumah sakit. Mulai rumah sakit di dekat rumahnya sampai ke rumah sakit paling top di kotaku. Tapi apa daya. Aku juga punya keluarga dan kebutuhan lain yang mesti kupenuhi. Dik Mira, istri Ilyas, mengamini bahwa Ilyas sebaiknya dirawat di rumah saja, mengingat apapun sudah kami kerahkan untuk biaya pengobatannya.

Setengah tahun perjuangan kami. Aku juga merasa bersalah terhadap keluargaku, istri dan anak-anak, yang selama rentang waktu itu kehilangan perhatianku. Konsentrasiku di kantor timbul-tenggelam. Ibuku yang selama ini merawat Ilyas, sedikit-sedikit menelepon mengabarkan kondisi adikku itu. Beliau sering menangis dalam telepon, meintaku segera datang jika kondisi Ilyas drop. Aku sempat hampir marah karena jelas-jelas telepon dari ibu mengganggu waktu kerja. Tapi kutahan karena memaklumi sifat ibuku yang memang gampang panik. Lagipula ibu juga pernah kehilangan seseorang karena penyakit yang sama, bapakku. Beliau menjanda di usia dua puluh tujuh tahun. Dan tak pernah menikah lagi. Aku tak mampu membayangkan bagaimana perasaan ibu menjaga anak bungsunya itu sakit, seperti menjaga mendiang suaminya dulu.

Aku jadi mudah uring-uringan. Anak sulungku yang duduk di bangku kelas tiga SMA pernah kumarahai karena dia mengatakan hal yang paling kubenci belakangan hari. “Kita sudah berusaha semampu kita, Pa. Cuma itu yang manusia bisa. Kalau memang ini waktunya Om Ilyas, ikhlas adalah jalan terbaik yang bisa kita tempuh.”

Waktu itu seperti biasa kami duduk di ruang keluarga usai makan malam. Aku tak bisa mengontrol emosi, maka kubentak anakku itu. Istriku ngomel-ngomel membela anaknya. Dan aku baru menyesal setelah acara makan malam yang tegang itu usai.

“Yang sabar ya, Mas,” Istriku seperti tak punya kata-kata lain untuk diucapkan.

Bukan hanya dokter-dokter spesialis yang kudatangi. Beberapa pengobatan alternatif saran dari teman-teman juga telah kuketuk pintu rumahnya. Namun jawaban mereka selalu sama. Sama menyebalkannya dengan istriku. “Yang sabar ya, Pak. Kita berdoa’a bersama-sama.”

Enam bulan aku pontang-panting mencari jalan keluar. Baik itu dana maupun tempat-tempat pengobatan yang bisa membantu menyembuhkan penyakit adikku. Hingga suatu ketika aku mendengar nama Mbah Brewok disebut waktu aku menggerutu tentang betapa menyedihkannya nasibku belakangan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun