Anggota keluarga bakal merasa nyaman untuk bertemu dengan anggota keluarga lain karena adanya figur utama tersebut. Mereka tidak merasakan kecanggungan saat bertemu dengan keluarga lain karena adanya figur utama tersebut. Â Lebih jauh lagi, sepertinya semua anggota keluarga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin di depan keluarga lain karena adanya figur utama tersebut. Â
Nilai-nilai yang melekat pada figur utama itu dipertahankan dan mengorbankan nilai-nilai lain yang mereka bawa. Semua yang berkumpul tahu mana nilai-nilai yang harus diperankan oleh masing-masing. Â Nilai-nilai yang telah mereka kenal dengan baik. Nilai-nilai yang mereka setujui bersama itu membuat mereka lebih nyaman untuk saling berinteraksi. Â Semua bergerak di seputar nilai-nilai yang melekat pada figur utama.
Dalam keluarga Jawa, figur utama atau figur yang diutamakan itu disebut "obor" atau pelita. Â Obor? Karena di situlah cahaya bersinar. Â Sumber kehangatan. Sumber penerangan. Tempat yang nyaman untuk ngumpul. Seperti serangga di malam hari yang selalu mencari sumber cahaya untuk bertemu dan kawin.
Figur utama tidak harus orang tua, tapi memang kebanyakan orang tua atau yang dituakan. Seseorang bisa menjadi obor keluarga bila dia bisa mengikat semua anggota keluarga dengan nyaman dan netral. Bisa memperlakukan semua anggota keluarga dengan adil. Figur utama harus kenal dengan nilai-nilai keluarga. Nilai-nilai yang terinternalisasi dengan baik sehingga merasa nyaman untuk berada di sekitar figur utama tersebut.
Jika figur utama ini meninggal, maka kemungkinan besar secara berangsur ikatan antar-keluarga akan melemah. Mulailah antar-keluarga jarang berkumpul. Maka diistilahkan sebagai "kepaten obor". Obor telah dimatikan. Tak ada lagi tempat untuk datang dan berkumpul. Serangga pun tidak bakal terundang untuk datang karena tak adanya cahaya. Â Bila ada kemauan untuk berkumpul, maka hanya beberapa anggota saja yang berusaha untuk itu. Mereka mencoba untuk mengenang atau mengembalikan nilai-nilai yang mereka kenal bersama. Tapi mereka bukan obor. Sinarnya tidak seterang obor yang sebenarnya. Hanya berkedip-kedip bahkan redup. Cahayanya tidak terlihat dari tempat kejauhan.
Kehidupan Bernegara
Bagaimana dengan kehidupan bernegara kita? Apa yang menyatukan kita sebagai bangsa? Sesuatu yang kita hargai dan letakan dalam posisi tertinggi sebagai suatu yang mengikat kebersamaan kita? Â Adakah sesuatu yang mengikat kita semua untuk berkumpul, menyatukan kita semua sebagai anak bangsa? Mengorbankan nilai-nilai diri dan meleburkan bersama pada nilai-nilai yang kita setujui bersama? Adakah yang menjadi panutan agar kita secara sukarela menyatukan diri pada nilai-nilai bersama itu?
Dalam masyarakat tradisional, figur kepala suku, tokoh agama, pemimpin adat, menjadi obor bagi masyarakat sekitarnya. Dalam cakupan wilayah yang lebih besar ada raja. Â Tokoh-tokoh itu dikenal sebagai figur yang mempertahankan nilai-nilai dan memberlakukan sanksi bagi pelanggarnya. Jika wilayahnya itu disebut negara, maka selain raja, ada pemimpin yang kharismatik atau bahkan diktator, yang bisa mengikat elemen masyarakat pada nilai-nilai yang "disetujui" bersama.
Pada masyarakat barat (modern), figur utama itu tidak lagi diletakkan pada manusia, tapi lebih pada hukum tertulis atau aturan-aturan rasionil yang disetujui bersama. Orang bisa saja tidak menaruh hormat pada polisi atau jaksa dan hakim, bahkan presiden, tapi mereka tetap menghormati hukum. Hukum yang berlaku secara egaliter dan mengikat semuanya. Karena figur itu tidak berasosiasi dengan manusia, maka kasus "kepaten obor" bakal tak terjadi kecuali negara itu bubar atau mengalami perombakan total lewat sebuah revolusi. Â Jika ada figur yang kharismatik, maka hanya nilai plus dalam negara itu dan bukan sebagai pengganti aturan tertulis yang berlaku. Â Ia hanya menguatkan saja.
Apakah UUD 45, Pancasila atau Sumpah Pemuda telah menjadi perekat kita bersama? Adakah tokoh kharismatik yang secara nasional bisa menjadi perekat kehidupan kita bersama?
Apakah Indonesia telah "kepaten obor"?
Indonesia dalam sejarahnya, sejak merdeka kita telah mengenal tokoh-tokoh kharismatik yang sanggup menyatukan bangsa. Para pahlawan banyak kita kenal karena perjuangan mereka demi bangsa. Mereka barangkali lebih kental rasa kerekatannya satu sama lain. Mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menyatukan rakyat untuk membangun bersama. Obor nampak menyala-nyala di seluruh Indonesia. Nilai-nilai kehidupan sosial masih koheren.
Menghadapi era reformasi, banyak sistem mengalami pergeseran. Membuka nilai-nilai baru yang lebih cair dan lebih rasionil. Nilai demokrasi berusaha kita kenali dan kita tuntut untuk diberlakukan pada banyak segi kehidupan. Nilai-nilai sebelum reformasi terurai sedikit demi sedikit. Sistem hukum, perundangan, birokrasi, dan tata negara mengalami perombakan besar. Â Diperbarui agar lebih rasionil, hemat waktu, beaya, tempat dan tenaga.
Kita belum "kepaten obor", tapi sinarnya makin meredup. Banyak orang tak bisa melihat lagi dari kejauhan. Mereka tak terundang untuk ngumpul. Mereka canggung atau ragu dengan acuan nilai-nilai yang akan dipakai sebagai sarana untuk ngumpul. Referensi nilai bersifat cair bahkan bertentangan.
Saling hujat, saling hina, saling fitnah, kata-kata makian diucapkan tanpa risih oleh tokoh-tokoh yang seharusnya jadi panutan. Â Dulu tokoh-tokoh yang kita hormati, kini mengalamai degradasi dan lebih cair. Â Tokoh spirituil dijadikan olok-olok. Nilai-nilai sakral jadi barang dagangan. Ideologi jadi bahan jualan yang menggiurkan.
Media sosial menerobos nilai-nilai tabu, sakral yang sebelumnya kita jaga dan sembunyikan rapat-rapat. Â Semua bisa ngomong sama semua. Tidak ada lagi atau makin menipis sekat-sekat sosial atau status ekonomi. Presiden bisa dimaki, kyai bisa dihujat, guru bisa dipukuli, anak-anak dicabuli, kekerasan dipuji, kejahatan dilindungi, korupsi tidak apa jika peduli. Cari uang tidak harus lewat lembaga struktural resmi, tapi bisa lewat monetisasi. Jadi youtuber, tiktoker adalah cita-cita generasi muda saat ini. Sibuk mikirin konten daripada kontemplasi atau katarsis pada nilai-nilai kesepakatan sosial bersama.
Nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama di masa lalu, kini makin terpilah-pilah. Bahkan ada usaha-usaha untuk menggantinya secara total nilai-nilai itu lewat revolusi. Secara berangsur mengikis pondasi nilai-nilai kesepakatan bersama yang diperjuangkan sebelumnya.
Kita belum "kepaten obor". Mungkin saja obor itu kini dalam proses ganti bahan bakar agar kelak bisa menyala lebih terang. Simpang siur keadaan politik saat ini mungkin hanya riak yang makin gemuruh menjangkau tepian demi  kesibukan sosial dan ekonomi. Pemerintah bekerja dengan diam dan menyiapkan landasan masa depan.
Kita tak mungkin kepaten obor. Dan tak mungkin diganti dengan obor lain. Tidak ada figur yang cukup berwibawa dan kharismatik untuk membawa obor baru.Â