Sekolah yang paling dekat dengan rumah biasanya menjadi pilihan orang tua karena praktis atau bahkan gratis. Namun ada baiknya juga kita tetap melakukan riset sebelum memutuskan dimana anak akan bersekolah.
Pilih sekolah itu sama kayak jodoh. Â Cocok-cocokan. Suatu kriteria yang cocok untuk si A, belum tentu cocok oleh si B.
Jangan asal dekat, asal murah, atau asal kata orang bagus. Ada hal krusial lain yang bisa jadi penilaian, terlepas dari biaya, lokasi, dan jarak sekolah.
Tentu saja kita ingin tahap perkembangan anak seperti aspek moral, kognitif, sosial, motorik, kebahasaan, dan kesenian berjalan maksimal.
Setelah sempat trial dan survey ke beberapa sekolah pada semester tahun lalu, pada awal tahun 2021 sekarang saya juga masih berproses menemukan sekolah yang pas untuk anak balita saya.
Berikut daftar pertimbangan yang siapa tahu bisa jadi rujukan Anda.
Kesiapan Anak
Zaman saya kayaknya usia 4 tahun masuk TK saja dianggap terlalu kecil. Tapi sekarang bahkan bayi pun ada sekolahnya. Wow!
Tak heran berbagai sekolah bayi dan batita bertebaran. Malah saya kagum dengan sekolah TK yang kurikulumnya luar biasa inovatif (tentu dengan biaya fantastis pula).
Beberapa TK yang bikin saya kaget bahkan menjanjikan lulusannya siap bersaing secara internasional dengan kapasitas akademik mumpuni. Sekolah bahkan menjamin anak didiknya mampu punya bank hafalan terlengkap di otak.
Waduh jadi ngeri! Bukankah TK itu tempat belajar sambil bermain ya? Kok jadi serius banget begini kayak mau menghadapi ujian skripsi?
Fitrah anak yang sedang senang bermain dan besosialisasi pun dibentuk untuk bisa segera calistung supaya mampu mengejar kompetensi yang ditetapkan.
Mungkin secara otak dan fisik seperti terlihat siap, tapi bagaimana secara emosi dan mental? Hanya sang orang tua yang mampu menjawabnya (itu pun setelah menelaah pribadi anak lebih dalam lagi).
Jangan mementingkan gengsi ya!
Kenali Karakter Anak
Ini hal dasar dan paling utama yang harus dilakukan.
Setiap anak terlahir dengan karakter dan keistimewaannya masing-masing. Â Ada yang aktif, fokus pada hobi, percaya diri, suka belajar, hingga mampu memecahkan masalah.
Misalnya anak kinestetik yang sangat aktif bergerak, masa sih dididik di sekolah yang minim kegiatan olahraga?
Begitu pun anak yang senang meneliti dan memecahkan masalah kemungkinan sulit beradaptasi dengan sekolah yang mengedepankan hafalan tanpa praktik.
Perbandingan Jumlah Guru dengan Siswa
Sedikit dan banyak itu memang relatif. Namun tentu Anda bisa memutuskan mana proses belajar yang lebih efektif melalui perbandingan guru dan murid per kelas, misalnya 1:40, 1:20, atau 2:30.
Siswa TK dan SD sedang dalam masa aktif bergerak dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Apalagi kalau ada anak yang sulit konsentrasi. Tentu ini jadi kendala jika rasionya terlalu jauh.
Kurikulum
Saat ini bertebaran sekolah dengan tawaran kurikulum beragam.
Dari holistik, nasional, nasional plus, internasional, Montessori, Waldorf, Reggio Emilia, High Scope, hingga berbasis agama.
Sebelum menentukan, cari tahu dulu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentunya pastikan juga Anda sudah memiliki tujuan pembelajaran.
Metode Belajar
Metode belajar secara terpadu akan mampu merangsang perkembangan anak sesuai karakternya masing-masing. Bukan malah mendorong anak sekadar mencari nilai dan rangking.
Akan sangat tidak nyaman anak aktif diharuskan duduk rapi dan diam sepanjang kelas berlangsung. Begitu pun anak visual yang akan tersiksa karena metode pembelajarannya lebih banyak ceramah.
Itu sama saja dengan mengajarkan anak ikan memanjat pohon atau anak singa cari makan dengan cara menyelam.
Oh ya, jam belajar juga berpengaruh terhadap tingkat fokus. Jangan sampai anak kelelahan. sehingga kehilangan waktu istirahat dan bermain.
Fasilitas dan Lingkungan
Lapangan, perpustakaan, kantin, laboratorium, sarana ibadah, hingga rasio jumlah kamar mandi dengan siswa bisa jadi pertimbangan.
Kita memang belum tahu kapan pembelajaran tatap muka berlangsung. Beberapa daerah memiliki kebijakannya masing-masing.
Yakinlah pandemi akan berakhir dan belajar akan dilanjutkan lagi di sekolah.
Namun untuk itu kita mesti pastikan sekolah punya fasilitas pendukung protokol kesehatan yang mumpuni. Seperti ketersediaan wastafel dengan sabun, cairan sanitasi tangan, dan pengukur temperatur suhu badan.
Penataan lingkungan juga perlu diperhatikan dengan memberikan anak ruang gerak yang aman dan nyaman.
Aktivitas Ekstrakurikuler
Sekolah bukan hanya tempat mengembangkan kemampuan akademik, melainkan juga sosialisasi.
Â
Ekstrakurikuler memungkinkan anak bergaul dengan siswa lain di luar kelasnya. Bahkan melalui aktivitas bersama, ia bisa belajar menghormati kakak kelas dan mengayomi adik kelas.
Selain meningkatkan kemampuan sosialisasi, ekstrakurikuler pun baik untuk mengembangkan kecerdasan emosi sekaligus menyalurkan bakat dan hobi.
Ikuti Trial
Ketika survey ke beberapa tipikal sekolah yang dituju, jangan lupa bertanya ke pihak sekolah apakah sang anak diperbolehkan mengikuti trial alias masa percobaan.
Nanti yang bakal menjalani sekolah kan si anak, jadi dia berhak untuk merasakan kenyamanan dalam belajar.
Kadang ada saja orang tua yang sudah merasa cocok, eh anaknya nggak betah. Atau si anak senang dengan sekolahnya, malah orang tua nggak setuju karena hal lain misalnya biaya, jarak, dll.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan anak punya kesepakatan dan kenyamanan yang sama atas pilihan sekolah. Komunikasi dan kompromi tanpa tendensi adalah kunci.
Hal ini juga memberikan anak kesempatan untuk terlibat menentukan pilihan dan belajar membuat keputusan.
Latar Belakang Mayoritas Orang Tua
Sebenarnya ini penting nggak penting sih, tapi menurut saya bakal lumayan berefek ke ketenangan pikiran.
Belum tentu orang tua siswa sekolah swasta berbiaya tinggi memiliki etika agung. Begitu pun belum tentu orang tua murid sekolah negeri biasa punya kebiasaan kurang baik.
Kalau anak berusia SMP atau SMA sih biasanya orang tua bisa agak santai. Tetapi jika anak masih TK dan SD, keberadaan orang tua amat penting untuk turut terlibat langsung dalam proses pembelajaran.
Apalagi zaman sekarang setiap jenjang kelas pasti punya grup percakapan sebagai jembatan antara guru dengan orang tua. Pertemuan pun kerap dilakukan untuk membahas perkembangan anak didik.
Nah malas nggak sih kalau kita mesti berurusan dengan mayoritas tipikal orang tua yang kepo dan demen membahas hal di luar urusan akademik di dalam grup?
Jika ada pertemuan khusus orang tua pun malah bergosip atau membicarakan orang tua lain. Semakin rempong kalau akhirnya muncul geng tertentu seperti kelompok dalam kelompok. Apalagi suka dengan hal berbau hoaks dan konspirasi.
Duh capek banget ya!
Anda bisa cari tahu dengan bertanya kepada teman yang sudah duluan memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Anda juga bisa survey ketika pembelajaran berlangsung atau bertanya ke pihak sekolah mengenai latar belakang mayoritas orang tua para siswanya.
Kultur Toleransi
Entah kenapa gejala intoleransi semakin menguat akhir-akhir ini. Sentimen suku, agama, dan ras seolah jadi bahan bakar untuk bikin keributan.
Alih-alih bikin adem, sikap konservatif tersebut justru mengobarkan permusuhan. Merasa identitas diri adalah yang paling tepat dan maha benar. Di luar itu ya salah.
Saya miris sekali saat membaca berita ada sekolah dasar yang mencekoki paham intoleransi kepada para murid. Bayangkan anak kecil polos dengan pikiran murninya harus disiram dengan ajaran dan ujaran mengarah kebencian.
Pastikan sekolah yang Anda bidik memiliki semangat multikultur dan multietnis.
Jika Anda menginginkan sekolah berbasis agama tertentu, pastikan tetap ada semangat toleransi dan menghormati keberagaman dalam proses pendidikannya.
Kita tinggal di Indonesia dengan ruh Bhinneka Tunggal Ika
***
"Yaelah ribet banget sih! Dulu orang tua kita nggak serepot ini deh!"