"Mengapa engkau tak semangat hari ini?" Tanyaku dengan mata yang tertuju pada sekujur tubuhmu. Tergeletak layu, tak bernafsu.
"Aku hanya kelelahan. Seharian tadi, kubersihkan seluruh lantai dan jendela rumah." Jawabmu.
"Kau sudah tahu, dirimu tak sekuat dulu lagi. Mengapa engkau bersikeras bertahan di rumah ini?" Aku kembali bertanya.
"Di sini, banyak kenangan yang tak bisa kutinggalkan. Banyak sekali. Aku ingat di sudut itu, bocah-bocah bermain berlarian, hingga yang terkecil sampai terjatuh. Yang lebih tua hanya terkekeh-kekeh melihatnya." Telunjukmu menuntunku memandangi ruang tamu yang penuh dengan kursi dan meja, dan alas karpet berbulu. Lapuk.
"Engkau masih ingat jelas peristiwa itu? Itu kan sudah berpuluh-puluh tahun lalu? Daya ingatmu bagus juga ya." Kataku memujimu. Aku hanya ingin melihat engkau tersenyum, dan sedikit beranjak dari kelelahanmu itu.
"Bagaimana aku bisa melupakan? Bocah-bocah itu, kendati menjengkelkan, sungguh menghidupkan. Tawa riang mereka, perkelahian mereka, kepolosan sikap mereka, sangat menghiburku."
"Terus, mengapa mereka sekarang tidak membantumu, membersihkan rumah?"
"Mereka sering tak bisa. Takada waktu. Takada kabar. Mungkin sibuk berkutat dengan kehidupan." Jawabmu perlahan.
Mendengar jawabmu, jujur aku kasihan melihatmu. Tinggal sendiri di rumah seluas ini, tanpa ada yang menemani.
"Engkau tidak mencoba tinggal bersama mereka?"
"Tidak, aku sudah nyaman tinggal bersama kenangan di sini. Hanya pintaku, mereka tidak melupakanku, yang menyebut mereka selalu. Itu saja, sudah cukup menghiburku." Jawabmu sembari menarik selimut, pertanda engkau sudah menyerah dengan kelelahan.
"Baiklah, selamat istirahat, semoga besok dirimu segar kembali."
Demikianlah percakapan imajiner seorang janda tua yang hidup menunggu kematian, karena kesepian. Menjaga hangatnya diri dengan doa bagi semua anak-anaknya..
...
Jakarta
18 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat