"Aku tidur dengan bola! Sepakbola adalah kecintaanku yang terbesar. Saat masih di Excelsior (klub amatir pertama Robin), aku selalu berlatih pagi sampai sore bersama pelatih Aad Putters. Ini bukan untuk mencari ketenaran tapi demi kesenangan. Aku benci sekolah, bagiku itu adalah neraka. Aku lebih menikmati bermain sepakbola di lapangan. Satu-satunya tempat dimana aku bisa merasa bebas", kenang Robin.
Bob van Persie, ayah Robin, berulang kali dipanggil ke sekolah guna mendapat laporan dari kepala sekolah jika Robin sering bolos dan tidak pernah mengerjakan tugas. Namun itu tidak dianggap sebagai suatu masalah yang besar. Bob sangat mendukung anaknya bermain sepakbola.
"Selain makan dan tidur, dia hanya sibuk dengan sepakbola. Dewan sekolah beberapa kali memanggilku agar bisa memperingatkan Robin jika sekolah lebih penting dari sepakbola, tapi aku dan Robin sangat tidak setuju. Tahukah Anda jika Robin pernah menjadi pelatih saat masih berusia 12 tahun? Ya. Itu dilakukannya saat masih di Excelsior. Sekadar untuk kesenangan", tutur Bob.
Saat berusia 13 tahun, Robin bergabung dengan klub papan atas Belanda, Feyenoord. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memikat staf kepelatihan. Pada 3 Februari 2002 Robin melakukan debut untuk tim utama Feyenoord dan bermain di final UEFA Cup beberapa bulan kemudian.
Feyenoord menang dan Robin menjadi local hero baru. Semuanya berjalan lancar sebelum Robin terlibat bentrok dengan seniornya Pierre van Hoijdonk di hadapan 50.000 fans saat Feyenord menjamu RKC. Hal ini terjadi karena dua orang ini berebut menjadi algojo tendangan bebas. Hooijdonk dan Bert van Marwijk (manajer Feyenoord saat itu) sangat marah ketika Robin bertindak sebagai algojo, padahal kiper RKC dibuat kerepotan dengan tendangan kaki kiri keras Robin yang nyaris sempurna.
Kian hari Robin van Persie mulai mengembangkan sikap sebagai pemain dewasa. Dia bahkan tidak ingin menggunakan mobil yg diberikan secara cuma-cuma oleh sponsor dan lebih memilih membeli Mercedez sport terbaru. Robin juga mulai muak dengan ulah Pierre van Hooijdonk dan Paul Bosvelt sebagai senior di Feyenoord yang sok berkuasa dengan membuat banyak aturan.
Pada 27 Agustus 2002, Feyenoord menghadapi Fenerbahce di Champions League. 15 menit sebelum pertandingan berakhir, van Marwijk meminta Robin untuk melakukan pemanasan namun tidak kunjung dimainkan dengan alasan sang pemain terlihat tidak bersemangat. Robin marah dan menolak menjabat tangan Marwijk seusai pertandingan. Inilah awal dari perseteruan Robin-Marwijk sampai 2 tahun berikutnya.
"Aku tidak pernah benar-benar dipercaya oleh para pelatih di Feyenoord. Mereka selalu menempatkanku sebagai pemain pelapis. Saat bermain pun aku hanya diposisikan sebagai sayap kiri, bukan sebagai penyerang, posisi idealku. Tapi saat aku melakukan kesalahan, neraka seolah keluar dari mulut mereka. Mereka tidak pernah memberikan kritik konstruktif, melainkan hanya menghinaku", keluh Robin
Namun van Marwijk membela diri dan berpendapat Robin harus diperlakukan seperti itu karena kurang mendapat kritik di masa mudanya. Dia yakin telah melakukan hal yang benar untuk Robin.
Musim panas 2002 sangat sulit bagi Robin. Dia tidak banyak bermain karena dianggap sebagai seorang pemberontak yang arogan. Emosinya pun tidak stabil. Manajemen mulai menanyakan masa depan Robin kepada van Marwijk. Namun pada 15 April 2004, saat Feyenoord menghadapi Ajax dalam sebuah pertandingan di level youth team, Robin menunjukkan kedewasaannya. Saat itu ada sekitar 4000 fans Ajax yang berjarak sangat dekat dengan lapangan. Robin dicemooh, diludahi, bahkan dilempar botol minuman. Namun dia tetap tenang dan bermain baik. Di menit akhir pertandingan, Robin mencetak gol penyeimbang dan merayakannya dengan melakukan ciuman jarak jauh untuk fans Ajax. Alhasil sekitar 40 orang mengepung Robin, dan memukulinya di lapangan. Kejadian ini membuat Robin berada dalam tekanan psikis selama beberapa minggu.
Satu-satunya orang yang tersenyum mungkin hanya Steve Rowley, pemandu bakat Arsenal yang berada di tribun mengamati aksi Robin di pertandingan tersebut. Perjalanan pulang ke London akan sangat menyenangkan bagi Rowley karena tasnya berisi laporan positif untuk Arsene Wenger.
Guus Hiddink, manajer PSV kala itu, sebenernya juga sedang mengamati Robin. Namun Rowley dan Wenger bertindak cepat. Tak butuh waktu lama, pada Mei 2004, Arsenal berhasil mendapatkan Robin dengan nilai transfer hanya £2.75 juta saja!
"Beberapa menit mengobrol dengan Arsene Wenger sudah cukup. Aku sudah tahu bisa mempercayai orang ini. Dia gila sepakbola seperti halnya aku. Saat negosiasi transfer, Arsene berkata: 'jika kau bisa menggiring bola melewati Sol Campbell dan Kolo Toure, maka kau akan bermain!', kisah Robin.
"Dua bulan pertama di Arsenal adalah neraka. Aku dilatih khusus oleh seorang pria mantan NAVY Seal bernama Tony. Namun aku juga banyak belajar dari Pires, Henry, dan Bergkamp. Mereka memainkan bola hanya dengan satu sentuhan"
Robin belajar menjadi pemain cerdas dan dewasa saat masih di Arsenal. Namun sayangnya kecerdasan dalam bermain tidak diikuti oleh kecerdasan dalam bergaul di kehidupan pribadi. Pada Juni 2005 dia ditangkap di Rotterdam, semalam setelah menjalani debutnya untuk timnas Belanda. Saat itu Robin dituduh memerkosa seorang penari erotis bernama Sandra. Seorang pelayan hotel yang melaporkan ini ke polisi. Beruntung hakim dan kepolisian menutup kasus ini dan membebaskan Robin dengan syarat.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi Robin. Dia membayar kepercayaan Wenger dengan menjadi pemain terbaik Arsenal dua musim beruntun dan menjelma menjadi salah satu predator kotak penalti paling mengerikan di Premier League. Kegiatan sehari-harinya kini menjadi pria santun yang menghabiskan hidup untuk istri, anak-anak, sepakbola, dan sesekali bermain tenis meja. Robin juga tidak merokok maupun minum alkohol seperti kebanyakan pemain. Robin van Persie menjelma menjadi pria membosankan namun tetap fenomenal.
"Rumahku di Manchester memiliki ruang rekreasi, sama seperti yang kumiliki dulu di London. Ditengah-tengahnya ada arena tenis meja. Aku sering mengundang teman-temanku datang. Tak ada yang bisa mengalahkanku dalam permainan ini"
"Liburan ke tempat yang jauh membuatku bosan. Aku hanya ingin bermain sepakbola dan bersantai dirumah sambil bermain tenis meja"
Itulah Robin van Persie dengan segala kesederhanaannya. Dia bukan pemburu uang atau kolektor gelar melainkan seniman di lapangan. Pernah suatu ketika dia berhadapan dengan Cristian Abbiati (kiper AC Milan), seharusnya dia tinggal mendorong bola saja ke gawang karena kiper sudah tidak berdaya. Tetapi dia malah memainkan bola itu dan melakukan chip menakjubkan. Ini semata dilakukannya untuk menghibur dan memberikan fans sebuah kenangan manis. Keindahan memang sudah mengalir di pembuluh darah Robin yang diturunkan oleh sang ayah.
Musim panas 2012, Robin mengambil keputusan besar saat harus meninggalkan Arsenal, terlebih Robin adalah kapten tim. "Ini dilema. Aku mencintai semua bagian dari klub ini. Aku seorang Gunner. Tapi aku pemenang dan ingin memenangkan beberapa gelar bersama klub. Ini adalah saat yang tepat untuk meraih itu"
"Aku tidak akan pernah pergi untuk uang. Aku hanya ingin peningkatan dalam karier. Ternyata bergabung dengan Manchester United adalah hal yang tepat. Ini pertama kalinya aku memenangi sebuah gelar domestik bersama klub. Ini mimpiku yang jadi kenyataan".
Kini Robin menjadi kapten timnas Belanda, dan pada Oktober 2013 lalu dia menjadi pencetak gol terbanyak De Oranje sepanjang masa dengan torehan 41 gol. Mengalahkan capaian Patrick Kluivert yang kini menjadi asisten pelatih di timnas.
"Aku melakukan penghitungan sebelum pertandingan. Dua gol cukup untuk melampaui catatan Kluivert 10 tahun lalu. Maka saat itu terjadi, aku berlari ke bangku cadangan dan memeluknya. Padahal beberapa hari sebelumnya aku sedikit cedera, namun Louis van Gaal tetap memanggilku. Dia juga menempatkanku sebagai striker utama dan memberikanku ban kapten. Maka inilah yang aku lakukan untuk berterimakasih padanya"
Saat ditanya tentang kunci keberhasilannya, Robin menjawab: "Aku selalu melakukan hal yang sama, tidak pernah terlalu larut dalam kesenangan. Setelah mencetak gol aku kembali fokus untuk menghasilkan gol berikutnya. Namun kadang aku sulit untuk mencetak gol selama beberapa minggu. Tenang saja, masa-masa itu akan selalu hadir dan kemudian hilang lagi. Pikiran yang dingin akan membantuku untuk melewati masa sulit. Jiwa dan semangat manusia lebih penting ketimbang tubuh. Itulah mengapa sangat penting mengendalikan tingkat emosional. Keseimbangan perlu dijaga dan itu bisa dilakukan dengan melakukan latihan secara rutin dan konsisten", terang Robin
Robin sekarang berusia 30 tahun dan mendekati akhir kariernya. Dia sudah memutuskan untuk mengakhiri ini bersama Excelsior, klub pertamanya. Dia sangat loyal, bahkan beberapa tahun lalu Robin menyumbangkan sejumlah uang untuk membantu pengembangan pemain muda disana.