21 November 2021 12:52Diperbarui: 21 November 2021 13:401630
Identitas budaya adalah kualitas tersendiri bagi etnis, sehingga etnis memiliki visi hidup yang jelas.  Olehnya itu diversifikasi etnik dan kebudayaannya cukup memberi makna bagi kehidupan bangsa dan negara, sebab setiap visi dari etnis akan mengarahkan kebijaksanaannya untuk menciptakan peradaban. Tetapi pada saat yang sama ketika telah terjadi  integrasi nasional dalam negara yang memaksa multi etnik berpadu, maka terdapat beberapa kendala tertentu, dimana akan muncul entitas etnik berbasis formal group yang hanya pragmatis pada simbol untuk kepentingan kelompoknya, dan juga timbul entitas solidaritas mekanik yang dipelopori aktor jongos untuk legitimasi kekuasaan. Pada akhirnya para pemuka etnik yang sebenarnya yang menjaga nilai dari budaya etnik itu tereleminasi dari gelanggangnya. Itu sebabnya sebagai analitis, Kuntowijoyo dapat dikata relevan dengan persoalan ini, oleh karena penjelasannya tentang mitos simbol budaya yang dipelopori kelas bangsawan dengan tujuan mempertahankan status quo kekuasaan adalah bukti dari usaha mereka untuk mengalienasi kalangan kawula atau rakyat, sehingga budaya mereka  berhadapan secara langsung dengan budaya massa yang merindukan gerak sejarah melalui semangat oposisinya. Dilain pihak kontradiksi pemahaman budaya makin mengental yang menyebabkan massa mengambang ditengah disorientasi kehidupan, yang hal itu secara akurat ditunjukkan oleh priyayi dimasa  kolonial yang menjadi pemulung profit sedangkan wong cilik menjadi objek penjajahan bersama. Bukan berhenti disitu saja, perihal ini terus hadir dalam nation state dengan buktinya dapat terlihat dari  golongan birokrat yang bersanding kembali dengan apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai warga negara dengan budaya yang dibawanya.  Oleh Karena itu Kuntowijoyo mengafirmasi bahwa kekhawatiran yang akan dialami pada situasi seperti ini ialah bukan pada pergeseran budaya tetapi lebih dari itu yakni  ketika sebagian kelas pemegang kekuasaan akan menjadi jamur budaya untuk mengabsahkan birokrasi dan kekuasaannya, atau kata lain "budaya untuk politik", sementara budaya untuk proses kebijaksanaan meredup berikut pemiliknya. Hal ini diperparah lagi oleh kondisi selanjutnya, yang dilakukan oleh para pelayan kekuasaan seperti intelektual oportunistik yang dengan rela menghamba, kemudian memakai simbol budaya. Alih-alih berbicara tentang resistensi budaya tapi toh terjerembab dalam kubangan pengaruh adidaya yang sama-sama menggerogoti nilai budaya.Â
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.