Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Maryam

21 September 2012   01:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:06 328 2
Sore ini di In Blue Café tak sengaja aku bertemu lagi dengan Maryam setelah 13 tahun ia menghilang. Maryam, seorang sahabat dari masa laluku itu, kini duduk di hadapanku sedang memainkan sedotan di gelas orange juice-nya. Ia tidak banyak berubah, masih terlihat cantik meskipun usia kami sama-sama sedang menuju angka 35. Tubuhnya ramping dan rambutnya dibiarkan tergerai menyentuh bahu. Sepasang mata bulat miliknya masih ditumbuhi bulu mata yang lentik dan hidungnya yang mancung seolah melengkapi keindahan bibir tipisnya. Aku seperti melihat Maryam 13 tahun yang lalu, saat kami masih bersahabat, saat ia menjadi pujaan cowok-cowok di kampus kami. Termasuk Andre, yang kini menjadi suamiku. Ingin sekali aku memeluk Maryam. Ingin kulepaskan rindu, galau, dan rasa bersalah yang selama 13 tahun ini menyiksaku. Ingin sekali kucium pipinya yang merona oleh sapuan blush on berwarna peach itu. Tetapi Maryam yang hanya berjarak satu lengan di depanku terasa sangat sulit kurengkuh. Di antara kami ada jurang yang sangat dalam, jurang yang membuatku tak mungkin berdiri bersebelahan dengannya. Jurang yang kuciptakan sendiri 13 tahun yang lalu, di café ini juga.

"Maryam, maafkan aku. Aku mencintai Andre. Aku tidak bisa tanpanya. Aku sangat terluka karena Andre memilihmu. Please Maryam, jauhilah Andre, aku terlalu mencintainya. Relakanlah Andre untukku, Maryam."

Maryam tertunduk, memainkan sendok di piring nasi gorengnya. Pandangannya menyapu dinding-dinding café yang didominasi warna biru. Beberapa detik kemudian sepasang matanya telah mengembun basah.

"Aku tahu ini menyakitimu. Tapi kamu gadis yang cantik, Maryam. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada gadis cantik dan cerdas sepertimu? Sementara aku tidak secantik dan sepintar dirimu; keluargaku pun tidak harmonis. Tak ada yang bisa kubanggakan untuk membuat cowok-cowok jatuh cinta padaku."

"Kamu yakin bisa membuat Andre bahagia, De?" tanyanya sambil menatap lurus mataku.

"Aku janji, Maryam. Akan kulakukan apapun untuk membuat Andre bahagia."

Ia terdiam, menghela nafas panjang. Aku tahu permintaanku terlalu berat untuknya, tapi aku sungguh tidak bisa membiarkan Andre dimiliki gadis lain, termasuk Maryam.

"Baiklah, De."

"Kalau ini bisa membuat kamu dan Andre bahagia, aku akan menjauhinya."

Hari-hari selanjutnya Maryam tidak terlihat di kampus. Seisi kampus bertanya-tanya karena Maryam, mahasiswi yang paling berprestasi dan sekaligus primadona kampus kami mendadak keluar dari kampus. Aku shock, tak menyangka Maryam melakukan hal ini. Ia telah memenuhi permintaanku, menjauhi Andre. Tetapi ia juga menjauhiku.

Andre kelimpungan, terlihat jelas sorot kehilangan di matanya. Apalagi keluarga Maryam sama sekali tidak mau memberitahu dimana Maryam berada. Ia seperti menghilang ditelan bumi. Andre menjadi sangat rapuh,  malas kuliah, dan nilai-nilainya turun drastis. Setiap hari kerjanya hanya nongkrong di In Blue Café, tempat ia, aku, dan Maryam biasa menghabiskan waktu untuk sekedar menunggu kelas berikutnya. Andre juga mulai merokok dan menyentuh minuman keras, dua barang yang dulu sangat ia benci. Saat itu aku baru sadar kalau Andre sangat mencintai Maryam, seperti aku mencintai dirinya. Namun aku terlalu pengecut untuk berkata jujur kalau akulah yang meminta Maryam menjauhinya.

Susah payah aku membangkitkan semangat Andre. Tak lelah aku memotivasinya, berusaha mengangkatnya dari keterpurukan, agar ia bisa mengejar ketinggalan studinya. Aku layaknya seorang pahlawan bagi Andre, yang menemani, menyayangi, mendengarkan, menghibur, dan mengembalikan gairah hidupnya. Hingga akhirnya ia memilihku meskipun beberapa cewek pernah berusaha menarik simpatinya setelah Maryam pergi. Aku tahu benar kalau Andre tidak pernah berhasil melupakan Maryam dan pernikahan kami baginya lebih menyerupai suatu balas budi karena aku selalu di sisinya ketika ia membutuhkan bahu untuk bersandar. Apapun alasannya, menjadi istri Andre adalah hal yang paling kudambakan saat itu. Kuharap waktu akan menghapus Maryam dari hatinya. Nyatanya harapan ini sia-sia, Andre tetap menyisakan cinta untuk Maryam.

"De, kamu dan Andre apa kabar? Anak kalian sudah berapa?"

Pertanyaan Maryam memaksaku keluar dari lamunan tentang masa lalu.

"Alhamdulillah baik, Maryam, Andre juga baik. Bernard, anak pertama kami sudah sepuluh tahun dan si kecil Maria bulan depan berulang tahun yang ke-3. Kamu sendiri bagaimana, Maryam? Apa kamu sudah menikah?"

Aku melirik cincin yang melingkari jari manisnya.

Maryam menggeleng. Rasa bersalah kembali mencuat dari hatiku, tersekat di kerongkongan, dan menjelma menjadi lapisan mendung tebal di wajahku.

"Maafkan aku, Maryam," isakku tak tertahan.

"Aku telah memisahkan cinta kalian. Aku merebut Andre darimu. Aku dan Andre sangat kehilangan kamu. Kami sama sekali tak menyangka kalau kamu akan pergi dari kota ini. Maryam, aku telah menyiksa kamu dan Andre selama bertahun-tahun."

"Sss...st, sudahlah, De. Aku rela melakukannya untukmu. Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku juga. Aku hanya tidak punya cara lain untuk melupakan Andre selain pergi dari kehidupan kalian."

Ah, Maryam. Aku tidak yakin kalau kami benar-benar bahagia. Seandainya kamu tahu Maryam, hingga detik ini Andre belum sepenuhnya mencintai aku. Ia tidak pernah bisa melupakanmu. Sering kalau hatinya sedang gundah, ia menghabiskan waktu di sini, di In Blue Café, tempat dimana ia bisa menikmati kembali kenangan-kenangannya bersamamu. Hanya di tempat inilah ia bisa merasakan kehadiran bayang-bayangmu. Dan aku tidak boleh merasa cemburu. Bukankah aku telah berjanji padamu untuk membuat Andre bahagia? Aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbananmu, Maryam. Aku akan melakukan apapun agar Andre bahagia, termasuk membiarkannya mengenangmu dan menyisakan ruang untukmu di relung hatinya yang paling dalam. Apa kamu tahu Maryam, kadang-kadang ia juga lewat di depan rumahmu dan berharap kamu keluar dari pintunya. Anak perempuan kami pun ia beri nama Maria, nama yang mirip dengan namamu.

"De...," ia menyentuh tanganku.

"Oh..., maaf, Maryam."

Kuhapus dua butir air yang jatuh dari mataku.

"Kalian masih sering ke sini, De?" tanya Maryam.

"Iya, Maryam. Andre sering minta dibelikan nasi goreng seafood. Kamu masih ingat kan menu favoritnya di café ini?"

Maryam mengangguk.

"Bagaimana denganmu Maryam? Mengapa kamu belum menikah? Apakah kamu belum bisa melupakan Andre?" tanyaku hati-hati.

"Aku sudah berusaha, De, namun waktu dan jarak yang demikian jauh terentang tidak sanggup menghapus perasaanku. Tak perlu khawatir De, Andre adalah masa laluku, dan ia juga telah menjadi masa depanmu. Aku tidak akan menganggunya. Bagiku cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat berharga."

"Apa maksudmu, Maryam? Bukankan cinta adalah hal paling mendasar dalam membina hubungan dengan seseorang?"

Aih, betapa naifnya aku. Bagaimana mungkin aku mempertanyakan arti cinta pada Maryam? Bukankah Andre juga tidak mencintai aku tapi aku mengambilnya dari Maryam?

"Aku akan menikah, De. Ia pria yang jauh lebih tua dariku, tepatnya tujuh belas tahun di atasku. Kami bertemu di pesawat dua tahun lalu dalam perjalanan bisnisku dari Lampung ke Jakarta."

Aku terperanjat. Salahkah pendengaranku?

"Apa, Maryam? Kamu serius?"

"Ya, De. Aku akan menjadi istri keduanya. Kepulanganku adalah untuk dipertemukan dengan anak dan istrinya. Kami akan menikah dan bersama-sama membesarkan perusahaannya."

Aku menggeleng, tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan Maryam.

"Istri kedua, Maryam? Kenapa harus pria 52 tahun dan kenapa harus istri kedua?" tanyaku beruntun.

"De...!" nada suaranya meninggi.

"Sejak meninggalkan kota ini aku sudah kehilangan cinta sejatiku. Satu-satunya pria yang aku cintai dalam hidup ini adalah Andre dan aku telah meninggalkannya. Cintaku telah terkubur di kota ini. Aku sudah tidak memiliki sisa cinta yang akan kuberikan pada pria lain. Aku tidak pernah sanggup mencintai orang lain, De, tidak selain Andre. Jadi siapapun dia, aku tidak peduli. Yang penting aku merasa nyaman bersamanya, terlindungi, disayangi, dan dipahami."

Ia menghabiskan orange juice-nya. Kiranya ia sedang menenangkan hatinya yang bergejolak.

"Maryam, maafkan aku. Kalau saja aku tahu ikatan cinta antara kalian begitu kuat, aku tidak akan memintamu meninggalkan Andre."

"Sudahlah, De. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan mendampingi hidup kita. Bukankah jodoh, rizki, dan maut sepenuhnya adalah hak Sang Maha Pencipta?"

"Tapi Maryam, akan ada seseorang yang tersakiti."

Seketika aku teringat pada ibu. Sejak dulu ibu dan ayah sering bertengkar. Setelah itu rumah hanya menjadi persinggahan untuk melepas penat di malam hari bagi ayah. Tak ada lagi kehangatan sebuah keluarga. Yang ada hanya kehampaan. Diam dan sunyi. Setiap orang larut dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Cinta kasih telah menjadi kenangan yang hanya sesekali perlu dilihat ulang. Kerinduan akan hadirnya anak laki-laki yang akan menjadi penerus bisnis ayah telah mengubahnya menjadi sosok asing di rumah kami. Dan ketidakmampuan ibu untuk memberinya anak laki-laki selalu menjadi alasan utama pertengkaran mereka. Beberapa bulan ini ayah bahkan meminta izin untuk menikah lagi. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi setiap hari karena ibu tak memberinya izin. Ini tidak adil buat ibu. Kenapa harus ibu yang disalahkan? Bukankah anak adalah pemberian Tuhan? Bukankah ibu tidak bisa memaksa Tuhan untuk memberinya anak laki-laki? Dan sekarang Maryam akan menjadi istri kedua? Akankah ia menjadi duri dalam rumah tangga seseorang? Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hati istri calon suami Maryam. Pasti sama pedihnya dengan hati ibu. Perempuan mana yang mau diduakan dengan perempuan lain?

"De, kita sudah menjalani kehidupan masing-masing sekarang. Kuharap kamu menghormati keputusanku. Aku telah kembali dan aku ingin kita tetap bersahabat, aku, kamu, dan Andre. So, hargai pilihanku, ya..."

Aku mengangguk lemah.

"Maaf, aku sudah dijemput, De. Kapan-kapan kita ketemu lagi,"

Maryam melangkah ke luar café. Aku mengekor di belakangnya. Dari halaman café kulihat sebuah Baleno silver berhenti. Rasanya aku mengenal benar mobil itu. Ketika pintu mobil terbuka, seorang laki-laki berkepala botak turun membukakan pintu. Aku tersentak. Bagai tersengat listrik bervoltase tinggi tubuhku bergetar. Nasi goreng seafood pesanan Andre terjatuh ke tanah. Laki-laki yang membukakan pintu untuk Maryam itu adalah...AYAHKU.

Written by:

Heni Kurniawati

Penulis novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC)

www.novelmimc.blogspot.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun