Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Agama Timnas Garuda

3 September 2011   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 491 0

Stasiun televisi itu tentu sangat berbahagia. Ratusan ribu pasang mata melihatnya tatkala timnas garuda berlaga. Rating melejit seketika dan iklan berdatangan tanpa diminta. Perusahaan rokok berebut jadi sponsor utama, seakan tak sadar bahwa olahragawan paling anti menyentuhnya. Namun apa mau dikata, itulah sepak bola.

Penjual kaos tentu juga ikut senang. Jualannya laku, karena yang pembeli tahu, seragam garuda adalah kebanggaan mereka. Kondektur bis kota semakin banyak menumpuk uang setoran ketika timnas main di GBK. Tukang parkir stadion bertambah banyak mobilnya. Penjual bakso dan mie ayam harus membuat lebih dagangannya, karena daya tarik sepak bola di Indonesia mengalahkan strategi marketing terbaik di dunia. Kita belum berbicara menang dan kalah kawan, karena sepak bola sendiri adalah berkah.

Kita tentu sedih ketika timnas garuda kalah ditangan musuhnya. Kecewa dan air mata itu biasa. Celaan dan hujatan enteng saja kita lontarkan. Kita sering berkata, kiper tak tanggap tangkap bola. Kita sering mencela ketika bek membiarkan lawan menjebol gawang. Kita hujat penyerang, karena peluang buang mereka. PSSI, manajer, pelatih juga sering kita jadikan tumbal, seakan olahraga adalah perihal mistis yang selalu saja meminta korban nyawa.

Namun, tidakkah kita sadari bahwa di dalam kesedihan itu ada solidaritas yang luar biasa? Saat itu perasaan kita sama, kawan. Sama-sama sedih, sama-sama terharu. Seluruh yang menyaksikan pertandingan sama perasaannya. Tidakkah kita sadari, Indonesia Raya sering membuat kita menangis, malah ketika kita ada di stadion? bukan di lapangan upacara yang lengkap dengan tradisi hormat bendera? Lagu kebangsaan adalah lagu persatuan, tetapi sepak bola yang menyatukan.

Ini realita sosial kawan, dimana pemain garuda lebih di idolakan daripada pemimpin – pemimpin negara. Kita tidak pernah merasa satu bangsa ketika Presiden Republik Indonesia sedang beretorika, namun Firman Utina mampu melakukannya hanya dengan menendang bola. Masalah Hari Raya kita sering berbeda, namun jika tim kesayangan, Indonesia-lah jawabnya. Masih nasionalisme simbolis memang, namun inilah Agama Timnas Garuda, ketika pemain sepak bola mampu menjalankan tugas pemimpin negara, menyatukan hati rakyatnya.

Sila ketiga Pancasila selalu menyuruh kita bersatu, namun itu seakan menjadi angan semu saat toleransi dan kasih sayang sudah dianggap usang. Hal yang diyakini sebagai jati diri bangsa itu akan semakin layu tanpa hadirnya teladan yang pantas untuk ditiru. Belum lagi ulah politikus yang selalu saja menebar kebohongan, membuat rakyat semakin tak punya pegangan. Simbol persatuan selalu dikhianati, oleh para koruptor yang mengambil hak para buruh dan petani. Mungkin Christian Gonzales belum hafal kelima sila dasar negara kita kawan, namun karena dia, kita belajar solidaritas.

Sekali lagi, kita belum berbicara menang dan kalah, karena sepak bola tak hanya itu. Tentu, kita selalu berharap tim kesayangan kita menang, berlaga di Piala Dunia, dan membawa pulang piala. Kita tentu saja rindu sepak bola Indonesia mampu sejajar dengan Brazil, Spanyol, atau Belanda. Namun, bukankah tanpa itu mereka sudah berjasa bagi kita? Bukankah mereka mampu membuat kita merasa sebangsa walaupun timnas kalah? Percayalah kawan, dalam lubuk hati mereka, tiada niatan sedikitpun untuk membuat kita kecewa. Mereka ingin membuat Indonesia bahagia. Oleh karena itu, janganlah menambah beban mereka dengan tuntutan – tuntutan yang lebih sebagai cerminan ego pribadi kita. Mereka adalah pahlawan. Menang dan kalah seringkali menjadi nomor dua saat mereka mampu membuat kita merasa sebangsa. Do’a dan dukungan untuk mereka, semoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun