Malam itu sejuk dan hujan, samar-samar dari balik mobil menuju ke hotel saya dapat melihat bahwa ternyata Vietnam (setidaknya Ho Chi Minh City) jauh lebih bagus daripada bayangan saya. Nuansa Indochina khas Asia Tenggara berbaur dengan bangunan-bangunan Eropa. Vietnam adalah bekas jajahan Prancis, sehingga tidak heran bila banyak bangunan bergaya Eropa di sana; bahkan Katolik merupakan salah satu agama minoritas yang cukup tinggi penganutnya di Vietnam, cukup mengejutkan karena negara tersebut merupakan negara komunis (mungkin saya akan menulis tentang ini di artikel lain).
Setelah beberapa hari di Vietnam kami mengunjungi Nong Lam University, sebuah universitas yang berlokasi di Thu Duc, sebuah distrik (kecamatan) di sebelah utara Ho Chi Minh. Kami senang sekali dapat bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di sana. Beberapa kalimat yang sering mereka kemukakan adalah:
"Apakah benar kalau kemacetan di Jakarta parah banget?"
"Saya ingin sekali melihat kota besar seperti Jakarta, atau Bali karena sangat terkenal!" (pernyataan ini sempat membakar rasa bangga menjadi orang Indonesia)
"Saya pernah lihat foto jalanan di Indonesia, kok mobilnya banyak sekali sampai jalan tidak terlihat?"
"Saya ingin banget melihat Papua!", kata seorang mahasiswa dengan bahasa Inggris dengan logat khas Vietnam yang kental.
Namun yang cukup mengejutkan saya, ternyata banyak juga yang berkata bahwa sepakbola kita sangat hebat.
Mereka sering menyaksikan berita di TV betapa antusiasnya masyarakat kita terhadap sepakbola. Usut punya usut, kekaguman mereka terhadap Indonesia bermula pada Piala Suzuki AFF 2010, dimana di babak semifinal Indonesia mengalahkan Filipina, dan Malaysia mengalahkan Vietnam sehingga Malaysia dan Indonesia bertemu di final. Kata mereka, saat itu masyarakat Vietnam mendukung Indonesia karena Malaysia sudah mengalahkan mereka sebelumnya. Sedihnya waktu itu Malaysia menang mengalahkan Indonesia di GBK Senayan, tetapi toh itu tidak mengubah pendapat mereka tentang sepakbola kita.
"Indonesian? Oh, good, good, you play football, no?", kata seorang penjual mie kepada saya saat makan siang di sebuah restoran kecil. Saya hanya tersenyum karena saya tahu pasti, kondisi sepakbola negeri kita tidaklah sebagus yang mereka pikirkan, selain itu saya memang tidak pandai bermain bola.
Dalam pertandingan yang sama, hingga hari ini Vietnam memperoleh 4 poin, sementara Indonesia 1 poin. Pada tanggal 22 November kemarin, Indonesia bertemu Vietnam dan hasilnya imbang 2-2.
Saya tidak tahu apa kata teman-teman mahasiswa itu seandainya saya bertemu mereka lagi. Mungkin penjual mie ayam itu juga sudah berubah pendapatnya. Miris? Ya. Kita belum mampu menciptakan prestasi dan branding yang konsisten bagi negara kita.
Saya hanya bisa berharap pemerintah kali ini dapat membawa terang baru, suatu harapan baru bagi pariwisata dan citra bangsa Indonesia di mata dunia pada umumnya, dan olahraga pada khususnya. (hzk)